Sunday, October 25, 2015

Field Trip: Masjid Agung Sumenep, Madura


Jepret dulu sebelum checkout
  
Setelah kemarin sore puas bermain air di Pantai Lombang. Malamnya kami menginap di Musdalifah Hotel & Resort, di Jl. Trunojoyo No.292 Sumenep *hotel yang paling memikat mata di antara hotel lain*. Biasanya hotel yang kami sukai adalah yang bangunannya modern, maksudnya bukan hotel yang kesannya bangunan kuno *horor bin serem gituh, qiqiqi*. Tapi kalaupun misalnya ga nemu yang sesuai keinginan, tak juga menjadi soal. Sekalian untuk mendidik VaRo, supaya lebih tahan banting saat menemui berbagai hal yang terkadang tak terduga. Dari homestay, hotel kelas melati sampai bintang 5 sudah pernah kami jajal. Alhamdulillaah, kami bukan termasuk orang yang rewel soal penginapan, asalkan fasilitas dan pelayanannya sesuai dengan rate yang dibandrol, its fine. :)

Di depan gerbang Masjid


Paginya setelah mandi dan sarapan, kami langsung check out untuk City Tour. Tujuan pertama adalah Masjid Agung Sumenep *konon tertua di Madura, nama aslinya Masjid Jamik Panembahan Somala*. Letaknya persis berhadapan dengan Alun-Alun Taman Kota Adipura Sumenep. Luasnya sekitar 100 meter persegi, dilengkapi dengan bangunan sekretariat, pesanggrahan kiri dan kanan, toilet, tempat wudhu serta tempat parkir. Dibangun ratusan tahun lalu setelah pembangunan Keraton Sumenep di era pemerintahan Panembahan Somala *alias Tumenggung Arya Asirudin Natakusuma I*, Adipati Sumenep ke-31 *sekitar tahun 1779-1787* sebagai tempat ibadah bagi keluarga keraton dan masyarakat umum.

Di depan pintu utama Masjid


Arsitektur Masjid terpengaruh dari banyak budaya, ada Tiongkok, Arab Persia, Eropa, Jawa, dan Madura sendiri. Arsiteknya sama dengan arsitek Keraton, yaitu Oom Lauw Piango yang asli Tiongkok dan menetap di Sumenep hingga akhir hayatnya.
- Pintu gerbang Masjid *sekaligus pos penjagaan* bernuansa Tiongkok dan Portugis
- Arsitektur Arab Persia tampak di kubah kecil di puncak bangunan yang ada di sudut kanan-kiri halaman masjid.
- Atap limas bersusun dengan puncak bagian atas menjulang tinggi layaknya atap joglo di Jawa
- Bangunan utama yang terdiri dari 13 pilar besar dan ukiran yang menghiasi 10 jendela dan 9 pintu sangat dipengaruhi budaya Jawa
- Pemilihan warna pintu utama dan jendela Masjid kental nuansa Madura
- Bentuk mihrabnya bernuansa kebudayaan Tiongkok dengan hiasan keramik khas Tiongkok
- Minaret setinggi 50 meter di sebelah barat masjid dipengaruhi oleh arsitektur Eropa.

Itu pedang yang dari Irak, awalnya sepasang,
satunya hilang tak pernah kembali

Setelah pembangunan masjid ini selesai, Pangeran Natakusuma memberikan wasiat yang harus dipatuhi:

"Masjid ini adalah Baitullah, berwasiat Pangeran Natakusuma penguasa di negeri/ keraton Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah (selaku penguasa) dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat Masjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya Masjid ini wakaf, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak."

Suasana di dalam Masjid

Oya, biasanya pintu utama Masjid hanya dibuka saat waktu shalat tiba. Alhamdulillaah, rejeki anak shalih shalihah, pas kami datang, waktu foto-foto di depan pintu, didatangin salah satu marbot Masjid, ditanyain dari mana kami berasal. Setelah menyebutkan asal kami, malah dibukain lhoo pintunya, dinyalakan lampunya, dan dipersilakan kalau mau foto-foto di dalam Masjid. Selesai foto dan ngobrol-ngobrol, kami keluar dan pintu utama ditutup lagi. *Semoga selalu dikaruniai kesehatan dan kelancaran rizki yaa pak marbot baik hati*.

Teringat nasehat Ibu Bapak, "Di manapun kamu berada, Nduk. Tetep jaga sopan santun, jadilah orang yang ramah dan membumi. Maka urusanmu akan dipermudah". Alhamdulillaah, terima kasih Ibu Bapak *Al-Fatihah*, nasehat yang sama, kini kuturunkan kepada VaRo. ^_^

Cerita lebih kumplit bisa dibaca di sini yaa teman-teman. Jangan lupa kalau lagi ke Sumenep, mampirlah ke Masjid Jamik. ^_^

Berpose di serambi Masjid

0 komentar: