Museumnya tak begitu luas, hanya seperti aula. Isinya selain 2 kereta kencana (1 buatan lokal, 1 hadiah dari Ratu Inggris), kebanyakan perabotan jaman dahulu kala, seperti kursi pertemuan, kursi sidang, tempat tidur raja dan beberapa guci. Konon dulu bangunan museum ini memang untuk garasi kereta kencana lho. Setelah puas melihat-lihat isi museum, kamipun menyeberang untuk mulai masuk ke dalam Keraton.
Kereta kencana yang asli :) |
Kini Keraton Sumenep tak lagi dihuni oleh Raja, keluarga, dan segenap abdinya. Setelah Raja ke-36, Sumenep bermetamorfosa, bukan lagi sebuah Kerajaan, dan dipimpin oleh seorang Bupati. Meskipun begitu, kekayaan sejarah yang tak ternilai harganya dan sudah berumur lebih dari 200 tahun ini tetap terawat. Secara fisik bangunan, Keraton ini masih asli. Hanya lantainya yang dipugar dari marmer menjadi keramik, karena rusak dimakan usia. Perbaikan lain hanya pada bagian genting dan pengecatan tembok supaya tetap kinclong.
Di Pendopo Agung |
Namanya juga Keraton, pastilah luaaass sekali, menurut info sekitar 12 hektar luasnya. Begitu masuk, kami disambut dengan Gerbang Keraton aka Labang Mesem (pintu tersenyum, gerbang ini dinamakan begini karena dahulu di kedua sisi pintu dijaga oleh orang-orang kerdil yang menyambut pendatang dengan ramah dan penuh senyum). Di sebelah kanan setelah masuk pintu gerbang, ada pintu ke Taman Sare, alias tempat pemandian putri Keraton. *Terkadang aku heran, kalau para wanita dibuatkan tempat mandi khusus, lalu para pria mandinya di mana ya? Masak iya di sungai? Qiqiqiqi*.
Di depan Labang Mesem |
Di bawah Loji, bel penanda jika ada tamu berkunjung |
Di depan pintu masuk Bangunan Utama |
Bangunan utama keraton terdiri dari dua lantai. Lantai atas merupakan tempat para putri raja yang dipingit selama 40 hari sebelum datangnya hari pernikahan. Lantai bawah ada 4 kamar, yaitu kamar pribadi raja, kamar permaisuri, kamar orang tua pria, dan kamar orang tua perempuan raja. *Jangan tanya kenapa tidurnya terpisah-pisah yaa, karena guide yang memandu kamipun hanya tertawa ketika kutanya hal serupa :D*. Pengunjung tidak diperbolehkan masuk ke bangunan utama, tapi bisa ngintip lewat jendela kaca. Ma syaa Allaah, ruangannya masih ditata seperti masih ada Raja dan Permaisurinya lho, seperti masih dipakai. :)
Kamar Raja Sumenep |
Seperti halnya Masjid Agung Sumenep dan juga Asta Tinggi, arsitektur Keraton Sumenep juga dipengaruhi budaya Eropa, Arab, Tiongkok, Jawa, dan Madura.*sepertinya Oom Lauw Pingao ini dulu adalah arsitek paling terkenal, karena membidani Keraton dan Masjid, sehingga Beliau dimakamkan di sekitar Asta Tinggi*. Pilar dan lekuk ornamen bergaya Eropa. Ukiran-ukirannya bergaya Tiongkok: detil ukiran Burung Hong *lambang kemegahan yang disakralkan bangsa Tiongkok*, Naga *lambang keperkasaan*, dan beberapa Bunga Delima *lambang kesuburan*, pun pemilihan warnanya yaitu Merah dan Hijau.
Lambang Keraton Sumenep |
Oya, selain yang ada di luar Keraton, ternyata ada lagi museum di dalam Keraton. Museum kedua ini dulunya Kantor Raja, namanya Kantor Koneng (kantor kuning, selain karena catnya berwarna kuning, ternyata kuning melambangkan kulit putri Keraton yang berwarna kuning, makanya rakyat menyebut para putri dengan sebutan Putri Koneng). Koleksinya banyak menyimpan barang pribadi dan perlengkapan sehari-hari keluarga Kerajaan, seperti alat-alat upacara mitoni/ tujuh bulanan kehamilan keluarga raja, senjata kuno (baik tradisional maupun hadiah dari bangsa lain), baju besi, Al-Qur'an yang konon ditulis Sultan Abdurrahman dalam sehari semalam, barang pecah belah asli made in Tiongkok, patung dan arca, baju kebesaran Raja, sampai tulang ikan paus yang terdampar di Sumenep tahun 1977.
Tiruan kereta kencana, dipakai saat pawai ultah Sumenep Lokasi: Kantor Koneng |
Museum berikutnya berupa bangunan yang katanya dulu tempat Bindara Saud menyepi. Rumah ini ada 5 bagian, yaitu teras, 2 kamar di sisi kiri dan 2 kamar di sisi kanan. Koleksinya tidak sebanyak di museum sebelumnya, hanya beberapa seperti sendal jaman dahulu, ranjang, seperangkat kursi, baju kulit harimau, sarung, aneka lampu, dan apa lagi ya, lupa, hehehe.
Sandal jaman dahulu :) *membayangkan makainya aja sudah capek sendiri* |
Setelah puas berfoto dan mendengarkan cerita dari guide kami yang ramah dan sabar, kamipun menyudahi wisata sejarah ini. Tak lupa sebelum beranjak pergi, sekalian nanya, kuliner khas Sumenep sini apa? Berdasarkan petunjuk mas guide, dari Keraton kami kembali ke jalan menuju kota, di perempatan pertama, belok kanan, lalu kurleb 50 m, di sebelah kanan ada gang kecil dan ada papan namanya. Nah, parkir mobil di pinggir jalan, lalu masuk deh ke gang kecil itu. Warungnya kecil, tapi ramaaiiii. Alhamdulillaah, bisa ngerasain yang namanya Soto Kikil, klu Kaldu Kokot, nanti kuceritakan terpisah di postingan selanjutnya yaa. Nom nom nom.. ^_^
Penampakan kroket singkong dan soto kikil :) |
0 komentar:
Post a Comment