Wednesday, January 28, 2015

Field Trip: Dieng Plateau (Dataran Tinggi Dieng), Wonosobo



Dieng, sebuah gunung api purba raksasa tepat di tengah Pulau Jawa (poros Jawa), tempat bersemayamnya dewa-dewi, yang ketinggiannya rata-rata 2000 mdpl, inilah destinasi kami berikutnya. Nama Dieng berasal dari gabungan dua kata bahasa Sansekerta: "Di" yang berarti tempat/ gunung/ tinggi dan "Hyang" yang bermakna dewa.

Dengan menempuh perjalanan yang ga terlalu lama dari Purwokerto dan diiringi hujan deras. Kami tiba di Kota Wonosobo menjelang Maghrib dan memutuskan menginap di hotel pertama yang kami jumpai. Dan ternyata, rate-nya tinggi banget, dengan fasilitas yang jika dibandingkan dengan Hotel Wisata Niaga Purwokerto jauuuhhh. Okelah, buat pengalaman, lain kali, mungkin mending menginap di Home Stay di area Dieng yang bisa dijumpai di sepanjang jalan naik ke Dieng, karena ternyata di malam hari, tak banyak yang bisa dilihat di Kota Wonosobo. Malam hari kami hanya keluar nyari mie ongklok aja, hehehe. Selebihnya edit foto sama main game di hotel *karena kamar hotel ga ada wifi-nya, hiks hiks*.



Keesokan paginya, selesai sarapan, kami langsung naik ke Dieng. Hawa sejuk cenderung dingin menusuk mulai terasa (suhu rata-rata siang 12-20 dc, malem 6-10 dc -> Baju hangat wajib hukumnya). Mendaki jalan berkelok kelok, beberapa kali menembus awan, kami benar-benar berada di Negeri di Atas Awan, negeri khayangan, negerinya dewa dewi. Oya, perjalanan dari Wonosobo ke Dieng ini ada filosofinya, klik di sini deh, website Guide kami tuh, ilmunya keren. :)

Bagi yang pertama kali ke Dieng, kalau belum/ ga sempat browsing, kami sarankan untuk menyewa guide aja, supaya lebih runtut dan bisa nyampe ke spot-spot yang mungkin kita ga akan tahu juga klu jalan sendiri. Biaya untuk guide itu sendiripun sangat terjangkau, sebandinglah dengan informasi dan segala yang kita dapatkan selama di perjalanan, karena yaa, kawasan Dieng itu luaaasss, jadi antara yang satu dan lainnya ya harus ditempuh dengan kendaraan beberapa menit perjalanan.

*Contact me klu butuh nomor hp guide-nya.

Di parkiran utama, ada semacam mading yang menggambarkan kawasan wisata Dieng secara keseluruhan, di sebelahnya juga ada penginapan yang dulunya sering dipakai pak Soeharto (Presiden ke-2 Indonesia), klu sekarang siy bisa disewa jika ada meeting. Kali ini kami tidak akan berkunjung ke semua destinasi di Dieng, karena waktu sehari ga akan cukup untuk bisa explore maksimal, mengingat ada banyak sekali kawah dan telaga di kawasan Dieng, air terjun, museum, kebun teh, puncak, dan gardu pandang. Jadi kami akan mengunjungi yang prioritas saja. Kalau mau cerita kumplit tentang Dieng, bisa ke Dieng Plateau Theater. ^_^


Tujuan pertama kami adalah kelompok Candi Arjuna. Kelompok ini terdiri dari 5 buah bangunan candi. 4 candi berada pada deretan yang sama yaitu; candi Arjuna, candi Srikandi, candi Puntadewa dan candi Sembadra, sedangkan sisanya adalah candi Semar yang bentuknya terlihat paling beda dan berdiri di hadapan candi Arjuna. Di komplek ini juga terdapat reruntuhan bangunan yang dahulu merupakan bangunan Darmacala, yaitu bangunan yang dijadikan sebagai tempat tinggal para pemuka agama Hindu dan para santri Hindu.

Sisa danau yang dulu menenggelamkan kawasan Candi

Dulu kala, candi-candi di Dieng sempat tenggelam dan terkubur dalam danau/ rawa-rawa. Hingga kemudian pada tahun 1814 ditemukan kembali oleh seorang tentara inggris yang tengah berlibur. Namun baru dilakukan upaya pengeringan rawa dan pembersihan candi mulai tahun 1956 yang kemudian dilanjutkan kembali pada tahun 1864 oleh pemerintah Hindia Belanda. Hingga kini penelitian mengenai candi-candi di Dieng terus dilakukan. Meski begitu, belum ditemukan catatan-catatan atau informasi tertulis mengenai sejarah Candi Dieng kecuali sebuah prasasti dengan angka tahun 808 Masehi, yang merupakan prasasti tertua bertuliskan huruf Jawa kuno. Dari prasasi tersebut, Para ahli memperkirakan bahwa kumpulan candi ini dibangun atas perintah raja-raja dari Wangsa Sanjaya.


Sebenernya ada sekitar 400 area percandian di Dieng, karena dulu, Dieng adalah pusatnya peradaban Hindu Syiwa kuno, bahkan Hindu Bali-pun induknya dari Dieng. Jadi percandian itu ada yang berfungsi sebagai tempat pemujaan, tempat belajar, tempat tinggal para pemuka agama, penginapan, dll. Sayang disayang, sekali lagi karena tanggapan Pemerintah yang telat, akhirnya banyak lahan yang mungkin di dalamnya mengandung warisan budaya itu sudah beralih fungsi menjadiiiii kebun kentang, dan juga pemukiman penduduk. Tentunya ini juga semakin menghambat proses pengembalian situs Dieng seperti jaman dahulu kala. Candi-candi cantik itu mengandung banyak sekali filosofi kehidupan, menggambarkan kehidupan manusia sejak dari alam rahim sampai alam akhirat.


Puas belajar di kawasan Candi Arjuna, kami menuju Candi Bima, candi tertinggi di kawasan Dieng. Candi-candi ini memang dinamakan seperti di cerita Mahabharata, ada juga kelompok Candi Gatotkaca, dan kelompok Candi Dwarawati. Seperti kita tahu, candi selalu dibangun dengan batu yang sangat tertutup, hanya ada pintu masuk saja, tak ada jendela ataupun angin-angin, jadilah di dalam gelap sekali. Ada trik, supaya mata kita bisa melihat jelas di dalam candi, tanpa bantuan alat penerangan. Caranya, begitu masuk candi, berdirilah, tatap ujung atap candi, lalu tutuplah mata beberapa menit. Setelah itu bukalah, dan lihatlah ujung atapnya, lalu, rasakan apa yang terjadi. :)

*Informasi lengkap tentang kawasan percandian bisa cek di sini.


Dieng adalah kawasan vulkanik yang masih aktif sampai sekarang, itulah mengapa ada banyak sekali kawah. Salah satunya adalah Kawah Sikidang, yang menanti untuk dikunjungi. Namanya unik yaa, dinamakan Si Kidang alias Si Rusa, karena kawah ini selalu berpindah-pindah kesana kesini. Muncul di sini, aktif, lalu mati, pindah ke sana, dst. Begitu turun di parkiran, akan banyak sekali penjual masker keliling, memang di daerah itu bau belerang sangat menyengat, bikin kepala pusing dan perut mual. Tapi ini sepertinya karena kebiasaan aja yaa, buktinya warga setempat yang menjadi jukir, penjual souvenir, penjual makanan, masker, termasuk guide kami, pak Taufik, adhem ayem aja tuh menghirup udara yang menyesakkan dada ini. Ada kawah, ada belerang, ada atraksi, itu sudah hubungannya. Mau merebus telur? Mau mencoba memeriksa apakah perhiasan kalian asli atau palsu? Atau atraksi dengan asap rokok? Silakan dicoba. :)

Pemandangan di Kawah Sikidang didominasi warna putih endapan belerang, serta buih-buih air yang merembes lewat rekahan-rekahan tanahnya jika disentuh masih terasa hangat. Hal ini membuat VaRo jadi ngeri, dan akhirnya, minta gendong dengan suksesnya, karena dia sempat menginjak tanah yang kebetulan suhunya di atas rata-rata. Oya, berhubung tubuh Dieng mengandung panas yang luar biasa, maka di Dieng ada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, supaya panasnya tersalurkan dan tidak membuat ulah dengan meletus dan menyemburkan gas beracun yang membahayakan manusia.

Cuaca di Dieng sangat unpredictable, sebentar panas sebentar hujan, berubah-ubah sesukanya. Itu jugalah yang membuat kami bertiga setengah berlari kembali ke mobil karena tiba-tiba air turun dari langit. Eh kok bertiga aja, iyaa, soalnya VaRo digendong pakdhe Guide, mana sambil dinyanyiin lagi, qiqiqiq, ya senenglah dia. Sampai parkiran, bukannya masuk mobil, kami malah masuk warung bakso, qiqiqi. Lumayan euy buat menghangatkan tubuh, saking dinginnya, bakso mengepulpun rasanya biasa aja. Kalau di Purwokerto ada tempe mendoan, di Wonosobo ada tempe kemul, semua sama-sama enaknya, apalagi tinggal makan, makan cuma satu itu nylilit, harus yang banyak. :D


Selesai makan bakso dan hujan mereda, kami bergegas naik ke Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Alih-alih lewat jalan biasa, kami diantarkan menuju lokasi pandang yang berbeda. Seru deh, menyeberangi kebun kentang, buah carica, naik-naik tebing, dan voilaaa, sampailah di atas sebuat batu. Dari situ terlihat jelas Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Sayang disayang cuaca tidak sedang bersahabat, tau kalau kami dari daerah super hot bernama Surabaya, jadinya air sana demen banget menyapa. Beberapa menit menikmati keindahan alam, awanpun datang, mendadak sekeliling berwarna putih, tak terlihat apa-apa, dan breessss, hujanpun turun dengan suka cita. Kami yang berteduh di "pos pantau", hanya bisa merapatkan tubuh kedinginan, qiqiqiq, kalau aku siy sudah tertutup dari ujung rambut sampai ujung kaki. Yang kasian VaRo, memang siy dia pakai jaket dan topi, tapiiii celananya pendek, alhasil menggigil kedinginan.

Telaga Warna ini dikelilingi oleh hutan lebat dan bukit yang masih asri, udara segar, dan pemandangan khas pegunungan yang membuat siapa saja betah berlama-lama, keunikannya berupa warna permukaan yang berubah-ubah, yang didominasi warna hijau kebiruan serta putih (disebabkan oleh endapan belerang yang ada di dasarnya). Di sebelahnya ada Telaga Pengilon, sesuai namanya, air telaga ini tidak berwarna seperti telaga warna atau telaga lain di Dieng, airnya bening, sehingga bisa digunakan untuk berkaca. Dan di sekitarnya ada beberapa goa alam yang bernuansa mistis seperti Goa Semar, Goa Jaran, Goa Sumur, dll. Goa-goa ini kerap digunakan untuk bersemedi lho, bahkan Presiden ke-2 Indonesia, pak Soeharto, kerap bersemedi di Goa Semar.


Dieng memang beda, di bulan-bulan tertentu (Juli-Agustus) suhu bisa mencapai 0 dc bahkan minus, membuat embun beku di dedaunan saat pagi, yang disebut "bun upas" alias embun racun, karena membuat taneman rusak. Jadi bagi warga asli Dieng, sudah pasti punya perapian, untuk digunakan menghangatkan tubuh di malam hari. Sambil menunggu hujan reda, kami mendengarkan cerita tentang "Legenda Anak Gembel". (Menurut kepercayaan warga setempat, anak gimbal merupakan anugerah dari para dewa sehingga fenomena ini patut disukuri. Rambut gimbal tidak secara alami tumbuh ketika mereka dilahirkan, namun tumbuh saat usia mereka menginjak 1-2 tahun. Karena rambut gimbal bisa membawa keberuntungan ataupun kesialan, makanya perlu diruwat supaya hilang sialnya, saat diruwat, rambut gimbal dipotong dan semua permintaan anak harus dipenuhi, karena kalau tidak, meski dipotong habis, akan tumbuh gimbal lagi, bahkan si anak bisa sakit-sakitan). Seru deh, sampai akhirnya hujan mulai reda, awan mulai pergi, kamipun turun lagi ke bawah, saatnya meneruskan perjalanan ngebolang kami.


Perjalanan kembali ke Wonosobo rasanya ngeri-ngeri sedap, bagaimana tidak, sepanjang jalan menuruni Dieng, kami ditemani kabut tebal, jarak pandang terbatas, jalan berkelok-kelok. Oya, tak lupa kami juga membeli oleh-oleh khas Dieng, yaitu manisan buah Carica, buah unik yang hanya ada di Dieng, nyummiii. :)


Well, Dieng membekas di hatiku, satu saat nanti in syaa Allaah akan dolan lagi, melihat daerah Dieng lain yang belum sempat dikunjungi, pingin trekking ke Sikunir, berburu telor ceplok raksasa, dll, dsb, dst. Semoga cuaca sedang bersahabat saat itu, supaya bisa puas melihat dan foto-foto. Aamiin YRA. :)
Tuesday, January 27, 2015

Field Trip: Baturraden, Purwokerto


Setelah mengarungi ratusan kilometer dari rumah Masku di Bekasi, sampailah kami di kota kenangan, Purwokerto. Kenangan apa? Banyaaaakk? Di kota itu, suamiku dulu ngangsu kawruh, menuntut ilmu meskipun ilmu tidak salah, belajar hidup mandiri jauh dari orang tua, jadi anak kos, jadi anak SMK, jadi cikal bakal lelaki hebat yang merajai hatiku, ihiiirr :D

Sekali lagi, ini adalah pertama kalinya, ngebolang dari arah Barat, banyak sekali perubahan di kota ini, suami aja yang menghabiskan 3 tahun masa mudanya di sini agak kebingungan juga. Maklumlaah, dulu kan waktu SMK masih jaman tirakat, boro-boro melancong kemana-mana, yang ada duduk anteng, kelola uang saku dari orang tua dengan bijak, sinau yang bener, ga usah neko-neko, titik. Eh tapi meskipun ga keliling kota, dia dulu kelilingnya dari gunung ke gunung. :)

Oya, dari Bekasi, kami melewati jalur selatan, melewati tol super mulus dengan pemandangan yang aduhai, subhanallaah indahnya, segeerrrr. Lepas tol juga disambut jalanan berkelok dengan ijo-ijo yang banyak, membuatku dan anak lanang tertidur pulas, tinggallah suamiku sendirian, dalam keheningan, hehehe. Berangkat sekitar jam 10 pagi, mampir maksi dan shalat di rest area tol, juga mampir nyari VCD di gerai minimarket yang ditemui di jalan. Kenapa coba? Yaa buat teman pak supir ganteng, karena di mobil Bapak ga ada port USB, dan kamipun ga punya VCD, klop deh. Kalau sedang di kota, lumayan dapet siaran radio setempat, begitu di tempat sepi, wassalam, ditemeni suara mesin aja. Masuk Purwokerto waktu Maghrib, sambil memelankan laju mobil, menikmati pemandangan kota.

Sebelum kami ngebolang, sudah nyari-nyari hotel yang kira-kira nyaman dan bersahabat di kantong, referensi aja, belum booking juga, karena kami klu ngebolang kadang suka meleset jadwalnya, molor gitu. Pertama kali nginep di hotel niy dalam perjalanan kali ini, sejak awal tidurnya di rumah saudara terus, eh di Lampung sempat tidur hotel, tapi gratisan. Sebelum memutuskan jadi bobok manis di hotel mana, kami harus memenuhi hak perut, Resto Pringgading pilihan kami. Kenapa makan di situ? Usut punya usut, ternyata itu impian suami sejak dia masih sekolah, dulu cuma bisa ngiler aja, mupeng pingin makan di situ, cuma ngeri aja sama harganya, mending di warung dekat kosan, makan sepuasnya, perut kenyang, kantong aman. Jadilah sekarang dia ajakin anak istri buat menebus impiannya. Perut kenyang, lanjut nostalgia, menengok sekolah tercinta, foto-foto gerbangnya aja, lalu langsung menuju hotel.


Mendoan, khas Purwokerto
Gethuk Goreng, khas Purwokerto
Atas rekomendasi dari salah satu teman, kami menjatuhkan pilihan ke Hotel Wisata Niaga (Jalan Merdeka No.5)dan beneran ga salah pilih, TOP BGT..!! Harga sama fasilitas sebanding, sarapan juga bisa minta include atau endak, hotel di tengah kota, kamar nyaman, mobil dicuciin pula. Cucok deh. Boleh banget kalian buat nginep di sini klu pas singgah di Purwokerto.

Pagi harinya, kami sempatkan ke alun-alun kota, nostalgia kejadian hampir 9 tahun yang lalu, bedanya dulu naik angkot rame-rame sama temen-temen, sekarang bertiga aja. Sampai alun-alun kaget bukan kepalang, lha kok sepi, qiqiqiq, kemana perginya penjual serabi Kamir dan "dorayaki" favorit itu? Ya sudahlah, foto-foto dulu, kejar-kejar burung emprit dulu, keliling alun-alun dulu, baru nanya ke salah satu petugas kebersihan. Eh ternyata ramenya cuma Minggu aja pas CFD, ealaaaahhhh, begitu to ceritanya. Baiklah, akhirnya melipir kalem keliling kota dulu, lalu ke serabi Kamir sesuai petunjuk si bapak tadi. Jam 8 di kota Purwokerto, kok ya ga ada warung soto atau apapun yang buka ya, padahal kami terlanjur ga pake paket sarapan di hotel. Alhamdulillah di sebelah serabi ada penjual makanan, sekalian makan aja udah, biar balik hotel tinggal mandi, packing, checkout, dan naik ke Baturraden.


2006 vs 2015


Kenapa dinamakan Baturraden? Konon katanya, jaman dahulu, di sebuah Kadipaten hiduplah seorang pembantu yang bernama Suta yang menjalin asmara dengan Radennya, yakni Putri adipati. Keduanya benar-benar merasa saling jatuh hati dan berencana meningkatkan hubungan mereka ke tali pernikahan, namun tidak mendapat restu dari kedua orang tua dengan alasan berbeda derajat dan martabatnya di antara mereka, nah makanya daerah itu dinamakan Baturraden (Batur = Pembantu, Raden = sebutan untuk Putri Adipati/ ningrat). Dulu, tahun 2006, aku pernah ke Baturraden, rame-rame bersama teman-teman, termasuk si belahan jiwa, jadi yaa bisa dikatakan tempat ini penuh kenangan manis. Ternyata banyak sekali perubahannya, yaa harusnya juga siy, masak iya dari tahun 2006 ga ada perbaikan, sungguh ter la lu. Lereng Gunung Slamet ini memang sejuuukkk, menyenangkan mendaki menuruni jalanan. Sayang kebun binatang mini sudah ga ada. Kami banyak foto-foto di sana, selebihnya naik perahu bebek sama ngasih makan ikan di kolam. VaRo senang sekaliiii, habis berapa bungkus itu, berbungkus-bungkus pakan ikan sambil nyemplungin kaki di kolam yang airnya dingiiiinn. Jangankan VaRo, emaknya juga demen inih..!!



Duluuuuu, kami naik sampai Pancuran Pitu, membelah hutan, mendaki jalan setapak, serunya bukan main. Sekarang tau diri, bawa bocah kecil juga, klu capek, mosok mau gantian gendong, capeklah, qiqiqi. Kami puaskan diri aja mainan di bawah, nanti klu ada waktu ke sini lagi, klu anak udah agak gedhe, bolehlah naik ke Pancuran Pitu, akunya kali yang harus banyakin latihan yaa, biar ga tersengal-sengal.

Bulan Januari, kata orang Jawa "hujan sehari-hari", sepertinya bener juga, langit udah batuk-batuk, waktunya undur diri, melanjutkan ke destinasi berikutnya. Sampai jumpa di cerita kami ngebolang di Dieng yaa ^_^

*Bersambung..
Sunday, January 25, 2015

Field Trip: Monumen Nasional (Monas), Jakarta



Ke TMII sudah, tinggal ke Monas sama Kota Tua yang belum. Okeih, Mari melancong lagi di hari Minggu. Dengan personel yang sama, berangkatlah kami ke pusat kota. Berangkat agak siangan, karena menghindari CFD.

Alhamdulillah ga terlalu macet, gerak cepat parkir mobil, dan jalan menembus teriknya mentari setengah siang. Ga lupa foto-foto dululaah di depan Monas, buat kenang-kenangan, bukti bahwa pernah menjejakkan kaki di Monumen setinggi 132 m. Ternyata di pelataran Monas banyak sekali penjual yaa, dan badut juga, qiqiqiq, jadilah pada heiboh minta foto sama badut.



Kami lalu masuk ke Monas melalui lorong bawah tanah, benar-benar menguras tenaga *apalagi klu sampai si kecil minta gendong karena capek*. Saatnya antri di loket tiket untuk naik ke cawan atau puncak. Sayangnya untuk menuju puncak sudah ditutup karena kuota memang terbatas, jadilah kami harus puas sampai pelataran bawah, lihat-lihat diorama, dan juga naskah asli proklamasi. Selebihnya duduk manis sambil ngobrol sementara keponakan kecilku mainan perosotan di lantai cawan Monas, qiqiqi.

Dengan sedikit pemaksaan, akhirnya si kecil mau menyudahi permainan asyiknya, dan kamipun melaju ke Masjid Istiqlal untuk menunaikan kewajiban. Oya, kali ini, kami juga janjian ama Budhe untuk ketemuan di parkiran Masjid. Lalu konvoi buat maksi di Megaria. Seneng deh bisa ketemuan sama saudara yang terakhir ketemu hampir 9 tahun yang lalu, iyaaa, ketemuan tuh pas nikahanku duluu, selebihnya, ketemu di dunia maya.


Sebenernya habis maksi mau lanjut ke Kota Tua, namun apalah daya, mendung yang menggelayut manja udah berubah jadi ujan gedheeee, lagi-lagi kami harus puas hanya melihat Kota Tua dari balik kaca mobil. Well, next time, i'll come to you again, in syaa Allaah. Sekarang waktunya balik ke rumah Masku, istirahat, besok lanjut ke kota berikutnya. Stay tune yaaa.. ^_^

BELAJAR TENTANG MONAS :)

Monas dibangun mulai Agustus 1959, arsiteknya Soedarsono, Frederich Silaban, dan Rooseno. Tanggal 17 Agustus 1961, Monas diresmikan oleh Presiden Soekarno. Mulai dibuka untuk umum 12 Juli 1975. Jam buka 09:00 - 16:00

Di Monas juga ada taman hutan kota seluas kira-kira 80 hektar. Pernah menyandang nama: Lapangan Gambir, Lapangan Ikada, Lapangan Merdeka, Lapangan Monas, dan sekarang Taman Monas. Di taman ini, kita bisa bermain dengan rusa yang berasal dari Istana Bogor, berolahraga, juga melihat keindahan air mancur menari berhiaskan laser dengan iringan lagu di malam hari.

Monas yang tingginya 132 meter ini berbentuk lingga yoni. Seluruh bangunan dilapisi marmer, bikin adheeemm. :)

Ukuran Monas

Bagian-bagian Monas

Lidah Api: terletak di atas cawan puncak, terbuat dari perunggu, dengan tinggi 17 meter dan diameter 6 meter dengan berat 14,5 ton, sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia yang ingin mencapai kemerdekaan. Lidah api ini dilapisi emas seberat 45 kg. Lidah api Monas terdiri atas 77 bagian yang disatukan.

Pelataran Puncak: luasnya 11 x 11 m. Untuk mencapai pelataran puncak, pengunjung bisa menggunakan lift dengan lama perjalanan sekitar 3 menit. Di sekeliling lift terdapat tangga darurat. Dari pelataran puncak Monas, pengunjung bisa melihat gedung-gedung pencakar langit di kota Jakarta. Bahkan jika udara cerah, pengunjung dapat melihat Gunung Salak di Jawa Barat maupun Laut Jawa dengan Kepulauan Seribu.

Pelataran Bawah: luasnya 45 x 45 m. Tinggi dari dasar Monas ke pelataran bawah 17 meter. Di bagian ini pengunjung dapat melihat Taman Monas yang merupakan hutan kota yang indah.

Museum Sejarah Perjuangan Nasional: terletak di bagian bawah Monas, setinggi 8 m. Museum ini menampilkan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Luas dari museum ini adalah 80 x 80 m. Pada keempat sisi museum terdapat 12 diorama (jendela peragaan) yang menampilkan sejarah Indonesia dari jaman kerajaan-kerajaan nenek moyang Bangsa Indonesia hingga G30S PKI.

Fyi
Kantor Pengelola Monumen Nasional Provinsi DKI Jakarta
Jl. Kebon Sirih No.22 Blok H Lt.IX No.53
Jakarta Pusat
Telp: (021) 382 3041


*Disadur dari berbagai sumber, mau lebih kumplit, silakan baca di sini.
Saturday, January 24, 2015

Field Trip: Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta

 

Kalau lagi ngebolang begini, jam istirahat adalah malam sampai pagi, selebihnya? Jalan terussss. Semalem baru nyampe rumah Masku, hari ini udah mau jalan ke TMII, kebetulan jaraknya ga terlalu jauh dari rumah, dan mau janjian ketemuan juga dengan salah satu temen jaman SMK dulu, aaaiiihh senangnya. :)

Sejak kecil, beneran pingin tau, seperti apa TMII itu, kalau di TV kan baguuss gitu, se Indonesia Raya tumplek blek jadi satu lokasi, ada miniatur kepulauan di Indonesia, bisa naik gondola, bisa lihat semua Rumah Adat, dan masih banyak lagi lainnya. Sayang disayang, impianku itu belum bisa terwujud, baru sekarang niy, setelah punya anak kecil.

TMII buka setiap hari, dari jam 07:00 - 17:00, tiket masuk per mobil Rp.10.000, untuk tiket lengkap bisa cek di sini. Berhubung TMII ini luas pake bangett, maka kita harus mengadaptasi ilmunya Dora The Explorer, yaitu punya peta. Pelajari, pinginnya kemana aja, ke anjungan? Museum? Tempat ibadah? Flora dan fauna? Atau ke wahana rekreasi? Karena kalau mau puas keliling TMII ga akan cukup waktu sehari, qiqiqi, kecuali nginap sekalian di hotel dalam TMII. :D


Kami termasuk yang slaman slumun slamet, pokoknya jalan aja, berhenti di tempat yang disuka aja. Pertama berhenti di Anjungan Sumatera Utara klu ga salah, foto-foto di rumah adatnya. Trus jalan lagi, berhenti di Damkar, anak-anak pada heboh karena bisa pegang-pegang mobil Damkar, jadi keinget deh filmnya Ringgo, dkk, si Jago Merah. Kayaknya dulu shootingnya di sini, penampakannya mirip. :P

Puas dengan mobil Damkar, kami menuju PP-Iptek. Science selalu menarik hati. Dari pertama aja udah disambut Bumble Bee, VaRo langsung sumringah, apalagi begitu masuk, ketemu Dino, berbagai macam alat peraga, juga video terjadinya bumi, wah, asyik sekali. Sayangnya beberapa alat peraga sudah tidak berfungsi sebagai mana mestinya, entah ini akibat ulah pengunjung atau kurangnya perawatan atau kombinasi keduanya, yang jelas, sangat disayangkan.

Dari PP-Iptek, lanjut nyari makan, karena perut udah menuntut haknya. Kami berhenti di gerai CFC, supaya selesai makan bisa langsung naik gondola, impian masa kecilku. Ternyata naik gondola sangat menyenangkan, semua terlihat dari atas, worth it.


Tujuan terakhir adalah Istana Anak, itupun setelah puter-puter dulu melihat-lihat berkeliling. Alhasil Istananya udah ditutup, qiqiqiq, kasian kasian kasian. Cuma bisa foto-foto di depan Istana Anak, selebihnya, pada main di playground, bagi anak-anak mah, itu yang paling menggembirakan, ga peduli deh apa isi Istana Anak, mainan numero uno. :D


Selama para Bapak angon anak, para Ibu duduk manis nungguin, qiqiqiq *selalu begitu*. Di situ pula akhirnya aku ketemuan ama temen jaman SMK, ya Allaah, rasanya seneng luar biasa, secara terakhir ketemu entah sudah kapan tahun, tak ingat lagi, jangan-jangan pas nikahannya dia yaa, yang berarti udah sejak 2004, what a long time. Kalau ga karena jam pengusiran sudah tiba, rasanya masih betah ngobrol di bawah rindang pohon dengan teman lama. Sayang sekali, harus disudahi, kamipun berpisah di parkiran.

Alhamdulillah, seneng deh, akhirnya satu wish list jaman bocah terkabul juga, semoga semakin banyak wish list yang menyusul terkabul lagi, aamiin YRA. See u next time, TMII. ^_^

*Bersambung yaaa..
Friday, January 23, 2015

Field Trip: Menara Siger, Lampung


Kemarin sudah ke Way Kambas, pagi ini, sebelum jalan lagi, sarapan dulu pakai Pecel Mie ala Lampung, pecel yang pakai bihun, bukan nasi.

Jadi yaa, sebenernya di Lampung itu banyakan transmigrannya, ada yang dari daerah Jawa, Bali, dll. Makanya ada banyak nama daerah di sana yang sama dengan daerah di Jawa. Karena memang dinamakan sesuai dengan asal penduduknya. Di Kampung Bali-pun demikian, saat masuk daerah sana, kayak ga di Lampung aja rasanya, setiap rumah ada pura, banyak sesajen, kain kotak-kotak, anjing, yaaah, sebelas dua belas ama Bali beneran deh, kecuali kondisi jalanan dan juga ga ada turis seliweran aja. :)

Selesai puter-puter, mampir deh makan bakso, trus langsung balik rumah. Oom Mantri kan dokter, buka praktek di rumah, jadi yaa gitu deh, pasiennya udah pada nungguin, jadi ga bisa ditinggal lama-lama, sebentar aja udah dering-dering telepon. Rencananya, siang ini kami mau ke Tanjung Karang, mau City Tour, sekalian biar lebih dekat saat besok mau nyeberang ke Bakauheni. Eh kok nyebrang? Hehehe, iya, kami ke Lampung punya 2 misi, selain liburan, juga mau ambilin mobil Bapak di rumah Oom. Jadilah berangkat naik burung besi, pulangnya kita mau ngebolang dulu, yippieee. :D


Setelah jemput Bulik Arie yang lagi nungguin tokonya di Pasar Kota Gajah, kami lanjutkan perjalanan ke Tanjung Karang dengan 2 mobil. Kami bawa mobil Bapak, Bulik ama Dek Putri pake mobil sendiri juga. Konvoi deh. Sampai Tanjung Karang langsung nyari hotel dulu, setelah dapet, langsung ke Ciputra Water Park, maenan air, qiqiqi seruuuu, meskipun aku cuma jepret-jepret dari pinggir aja, males nyemplung euy. :)

Puas main air, lanjut makan malem di Rumah Kayu, salah satu resto favorit keluarga Bulik. Setelah kenyang, balik ke hotel, istirahat, karena besok kami akan lanjut nyebrang ke Jawa.


Pagi di hari Jum'at, Bulik dan Dek Putri cabut duluan karena mau balik ke Kota Gajah. Sedangkan kami, masih santai-santai sarapan, lalu kemas-kemas, jam 10 baru check out. Tujuan kami selanjutnya adalah Menara Siger, si Titik Nol Pulau Sumatera. Siger sendiri adalah topi adat pengantin wanita Lampung, jadi menaranya memang dibangun menyerupai hiasan kepala itu, cantik. Letaknya persis sebelum Pelabuhan Bakauheni, petunjuk jalannya sudah ok, jadi sangat mudah dicari. Pemandangan dari Menara Siger sangat apik, sambil duduk-duduk di tangga, bisa melihat keindahan lautan lepas, seger bener deh klu lihat air. Sayangnya pas ke sana, pintu ke ruang display terkunci, coba kalau pas buka, bisa sekalian belajar segala hal tentang Lampung. :)




Puas melihat pemandangan dan foto-foto, kami menuju Masjid untuk Shalat Jum'at, lalu makan, dan langsung ke Pelabuhan Bakauheni. Di ruang istirahat yang disediakan untuk penumpang, ada gelaran tikar dan juga bantal, sewanya Rp.15.000 per orang, lumayanlah bisa buat tiduran, karena agak mabok laut, qiqiqiqi, maklum aku paling poool, nyebrang dari Jawa ke Bali atau dari Jawa ke Madura, itupun ga ada sejam perjalanan. Pernah pesiar dengan KRI Teluk Penyu jaman masih bocah, konon dulu sekitar 4 jam, tapi ga ingat rasanya gimana, ingatnya ada Agnes Monica aja. Jadilah sekarang, nyebrang sekitar 2-3 jam rasanya pusing pala berbie. VaRo sama Bapaknya malah asyik nonton kartun, Emaknya sudah ga nahan, mending merem daripada mabok, malu-maluin. :P


Setelah perjalanan laut yang amat panjang bagiku, akhirnya bisa menginjak daratan lagi. Dan emang bener yaa, begitu di tanah Jawa, sangat beda dibanding tanah Sumatera, yang langsung terasa adalah, pemandangan kanan kiri jalan dan juga kondisi jalanan. Udah minim ijo ijo lagi, yang ada kerukan tanah di sana sini, tapiii, enaknya jalanan udah muluuusss. :)

Tujuan kami berikutnya adalah ke rumah Masku, di daerah Bekasi. Kami akan melewati tol tengah kota, di hari Jum'at, pas jam pulang kantor, what a perfect combination. Maunya siiiyy, maunya pas macet bisa ngajakin anak lanang menikmati pemandangan gedung pencakar langit, apalah daya, baru beberapa km dari Pelabuhan, dia sudah bobok ganteng di jok tengah.

Satu hal yang bener-bener kami syukuri keberadaannya adalah si TomTom, GPS satelit kami. Cukup masukkan koordinat, dan kamipun bisa melaju. Ga kebayang klu ga ada dia, secara papan nama di tol bujubuneng banyaknya, bisa kesasar bener, karena emang buta daerah Jakarta. Ini pertama kali ngebolang bawa mobil sendiri di hutan belantara Ibu Kota. Alhamdulillaah, atas petunjuk TomTom, kamipun sampai di rumah Mas, tepat jam 9 malem, total perjalanan dari Tanjung Karang 11 jam. Terima kasih TomTom. Sekarang saatnya merem cantik, karena besok mo jalan-jalan lagiiii. ^_^

*bersambung...
Wednesday, January 21, 2015

Field Trip: Way Kambas, Lampung



Horeeeee, Bapak ambil cuti besar, saatnya ngebolang lagi. Alhamdulillaah, mumpung VaRo juga masih TK, jadi masih leluasa untuk izin ga masuk sekolah dalam jangka waktu lumayan lama. Tujuan pertama, adalah kota Lampung. Waaah, ini jadi pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Pulau Sumatera lho..!!

Siap terbang

Saat menunggu sang burung besi

Indahnya ciptaan Allaah SWT

Touch Down Sumatera Island for the 1st Time

Kami menumpang Lion Air, transit Jakarta. Sebenernya jadwal terbang dari Jakarta sekitar jam 8 malem. Tapi, begitu landing dari Surabaya sekitar jam 5 sore, eeh udah disambut ama petugas dan langsung diarahkan masuk badan pesawat lagi, langsung diterbangkan ke Lampung. Qiqiqiq, di situ kadang saya merasa heran, ya seneng seneng aja siy, ga perlu kelamaan nungguin di Soeta, tapiii, efeknya, saudara yang mau jemput jadi gedubrakan. Maklum, saudara tinggal di Kota Gajah, yang notabene butuh waktu ga kurang dari 2 jam perjalanan ke Bandara Radin Inten II. :D

Dijemput dan diajak makan di salah satu cafe cozzy di Metro, Lampung

Singkat cerita, bertemulah kami dengan tante dan keponakan tercuintah, yang ketemuannya paling banter pas lebaran aja. Karena pas jam makan malam, akhirnya kami mampir di kota Metro untuk isi perut. Sayangnya aku lupa apa nama cafenya, yang jelas cozy abis, menyenangkan dan masakannya enak. Kesan pertama incip makanan di Pulau Sumatera begitu menggoda. Yang ga menggoda itu, si anak lanang, udah molor aja dia kecapekan.:)

Ayo naik gajah Lampung

Setelah cukup istirahat semaleman, keesokan harinya kami bersiap mau piknik ke salah satu Taman Nasional yang moncer, yaitu Way Kambas. Dari Kota Gajah (Lampung Tengah) ke Way Kambas (Lampung Timur) ada sekitar hampir 2 jam perjalanan, ditambah lagi, jalanannya yang kurang terawat. Beneran deh, itu yang bikin lama, membuatku sangat bersyukur, karena di Jawa jalanan mulus mulus aja.

Taman Nasional Way Kambas adalah taman nasional perlindungan gajah yang terletak di daerah Lampung tepatnya di Kecamatan Labuhan RatuLampung TimurIndonesia. Selain di Way Kambas, sekolah gajah (Pusat Latihan Gajah) juga bisa ditemui di Minas, Riau. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang hidup di kawasan ini semakin berkurang jumlahnya. Taman Nasional Way Kambas berdiri pada tahun 1985 merupakan sekolah gajah pertama di Indonesia. Dengan nama awal Pusat Latihan Gajah (PLG) namun semenjak beberapa tahun terakhir ini namanya berubah menjadi Pusat Konservasi Gajah (PKG) yang diharapkan mampu menjadi pusat konservasi gajah dalam penjinakan, pelatihan, perkembangbiakan dan konservasi. Hingga sekarang PKG ini telah melatih sekitar 300 ekor gajah yang sudah disebar ke seluruh penjuru Tanah Air. Di Way Kambas juga tedapat International Rhino Foundation yang bertugas menjaga spesies badak agar tidak terancam punah

Di Taman Nasional Way Kambas ini terdapat hewan yang hampir punah diantaranya Badak sumateraGajah SumateraHarimau sumateraMentok RimbaBuaya sepit. Untuk tanaman banyak diketemukan Api-apiPidadaNipahpandan. Di bagian pesisir Taman Nasional Way Kambas yang berawa juga sering ditemukan berbagai jenis burung antara lain Bangau TongtongSempidan BiruKuau rajaBurung Pependang Timur, dan beberapa burung lainnya.

Lihat prosesi gajah mandi

Menurut petugas penjaga hutan, sekarang di Way Kambas ada sekitar 62 ekor gajah yang dikonservasi, belum termasuk gajah liarnya. Oya, dalam bahasa setempat, Way adalah sungai, jadi Way Kambas adalah Sungai Kambas. Karena di sana banyak sekali Way Way Way, sehingga banyak juga terdapat sistem irigasi untuk pertaniannya, yang disebut "Ledeng".

Asal tau aja ya, dari gapura selamat datang ke Way Kambas sampai ke dalam, ke lokasi konservasi gajah itu, ada kali sekitar 10 km, dan jalanannya sepiiiiii, ga terlalu mulus lagi, kanan kiri hanya ada pepohonan rindang, ngeri-ngeri sedap, pokoknya ga boleh deh sampe mogok atau ban kempis di situ, gawat maksimal, karena sinyalpun ikutan kembang kempis di daerah itu.

Makan siang di pinggir pemandian gajah

Di sana, selain makan siang, melihat isi museum gajah, melihat aksi gajah mandi, makan, diukur tubuhnya (beneran diukur pake meteran kain itu lhoo, qiqiqi, takjub deh liatnya), ngasih vitamin, bisa juga naik gajah. Kalau cuma keliling area saja, cukup membayar 10 ribu per orang (maksimal 1 gajah 3 orang berbadan langsing), kalau mau keliling sampe nyemplung-nyemplung air, bayarnya 50 rb (maksimal 1 gajah 2 orang berbadan langsing dengan lama perjalanan sekitar 30 menit).

Kalau kalian berkunjung di hari Minggu, biasanya ada atraksi gajah. Sayang sekali kami datang di hari kerja, jadilah gajahnya pada kerja juga, qiqiqiiq. Oya, di Way Kambas ini juga ada beberapa penjual souvenir, baik baju atau pernah pernik lain, harganyapun lumayan ramahlah di kantong.

Well, masukan aja buat pemerintah, perbaiki dunk akses jalannya ke Way Kambas, itu Taman Nasional lhoo, masak jalan raya nya kayak jalanan off road, sangat ga recomended buat sedan deh, bisa nangis kepentok jalan melulu. Orang kemarin kami naik Fortuner aja jalannya tetep ga bisa ngebut.

Oya, sepulang dari Way Kambas, mampir dulu ke Sukadana, Oom ngajakin makan pempek, waaaah mamamia lezatooss, pempek aseli Sumatera, bukan pempek buatan Jawa, qiqiqiqi.


*bersambung...