Sunday, October 25, 2015

Field Trip: Ada Apa Dengan Sampang?



Ada apa dengan Sampang?
Sampang adalah tempat kantor suami kerja dulu sebelum menikah
Sampang adalah tempat kami bolak balik pergi ngepantai
Sampang adalah tempat yang makanannya nyantol di lidahku
Sampang menyimpan kenangan merah jambuku, qiqiqiqi
*Lha ini mau cerita malah nostalgia yak, maapkeun pemirsah, kebawa suasana.:D*

Kemarin, waktu mau ke Pantai Lombang, kami mampir makan siang di Kaldu Kokot Pak Ghozali, rasanya gimana? Alhamdulillaah, endheesss. Enak bener disantap saat masih hangat. Sup iganya juga enak, dagingnya empuukk bingit, bisalah diulangi lagi klu pas main ke Sampang.


Nah pas meneruskan perjalanan, aku sekilas membaca bakalan ada pacuan kuda, di hari Minggu, tepat saat kami mo balik ke Surabaya. Tapi ga sempat kebaca tempat dan lokasinya. Jadilah sekedar angin lalu, sampai pas kami balik, melewati sebuah lapangan, tampak keramaian di tengah lapangan. Karena ga kelihatan adanya bianglala dan aneka permainan khas pasar malem seperti biasanya, maka kamipun mendadak kemal. Langsung deh melipir, nanya ke Bapak-Bapak yang lagi ngumpul di pinggir jalan. Daaan, ternyata itu adalah acara pacuan kuda!

Langsung rapat kilat ama suami deh, mampir ga ya? Secara seumur-umur belum pernah yang namanya lihat pacuan kuda secara langsung. Yowislah, daripada nyesel, dan mumpung pas ketemu, akhirnya kami berbelok, mampir buat melihat seperti apa keseruan pacuan kuda itu. Lokasi lapangan ini sangat eksotis, karena berada persis di pinggir Selat Madura. Panas terik menyengat, tapi tak terlalu terasa karena semilir angin pantai yang berhembus. Setelah parkir di tempat yang aman *di belakang barisan penonton*, buka sedikit ke-empat jendela mobil, matikan mesin. Anak lanang yang lagi pules di jok belakangpun seakan tak terusik dengan perubahan suhu di dalam mobil, tetep aja asyik dibuai mimpi.



Suami yang pertama turun, bawa kamera dan lensa tele, mau mengabadikan moment langka ini, sementara awalnya aku ga tertarik bergabung bersama riuhnya penonton. Tapi lama-lama tergoda juga untuk melihat langsung, rugi juga rasanya udah jauh-jauh ke sini cuma ndekem di dalam mobil, ga seru. Akhirnya aku menyerah pada keinginan buat turun, bergabung dengan para penonton yang mayoritas kaum Adam.

Setiap sesi pacuan, ada 2 kuda yang berlomba, nah jarak per sesi ini lumayan agak lama, 5 menit lebihlah, dan saat mengisi waktu tunggu ini, komentator pacuan kuda *eh apa namanya ya, aku ga tau* bersemangat sekali merangkai kata, yang tak satupun aku pahami, karena menggunakan Bahasa Madura dengan pengucapan secepat jet. Aku hanya terdiam sambil nyengir fokus puluhan meter di depan sana, berusaha ngelihatin yang mana kudanya, qiqiqiqi. Sampai satu saat, aku merasa semua mata memandangku, aku kembali memijak bumi. Berusaha membuka telinga lebar-lebar, ada apa gerangan, mengapa fokusnya jadi kepadaku, bukan kepada kuda pacu.

Garis start dari kejauhan


Dengan wajah innocent terbaikku, aku berusaha nanya ke orang-orang di sampingku, ada apa? Kenapa semua melihatku? Sementara dari kejauhan kudengar beberapa penggal kata pak komentator "bu haji, jilbab panjang, pakai kacamata dan topi", hah, itukan aku, kenapa pula disebut-sebut, apakah aku salah? Terlalu mencolok? Atau kenapa? :D

Yihaaaa...

Persaingan ketat
Ternyata oohh ternyata, katanya aku wanita pemberani, ada di barisan depan melihat pacuan kuda. Aku disuruh mundur karena takut nanti keterjang kuda yang berlari kencang. Qiqiqiiq, aku ga terima dunk, hawong kanan kiriku ada banyak orang, ada beberapa wanita juga kok, kenapa cuma aku yang disuruh mundur coba? Eh, tapi akhirnya aku mengalah, mundur aja udaaaahh, bertamu di tanah orang musti jaga ucapan dan attitude. Suamiku yang berada di jarak beberapa meter dariku hanya ketawa, semprul..!! :P

Akhirnya aku balik ke mobil aja, daripada jadi pusat perhatian bak artis ibu kota. Tak berapa lama, si anak shalih bangun juga, dan mau ikut gabung lihat pacuan kuda. Sementara aku seneng banget, ketemu sama seorang ibu-ibu yang lagi ngadhem, duduk bersandar di samping mobil, berusaha berlindung dari teriknya mentari.

Kami berbincang santai, bersyukur ada Bahasa Indonesia, coba kalau endak, mungkin kami udah bicara pakai bahasa tarzan. Dan perbicangan itu membuatku kagum. Di usianya yang hanya beberapa tahun di atasku, pokoknya kelahiran 80-an. Ma syaa Allaah, bener-bener dibuat bengong aku. Dia sudah melewati 3 pernikahan dan sudah punya cucu! *speechless*. Dia menikah hanya beberapa bulan selepas lulus SD. Wow, kalau itu di era kakek nenekku, aku ga kaget, karena jaman dahulu memang seperti itu adanya. Tapi saat hal itu terjadi di jamanku, jujur aja aku shock. Lulus SD sudah menikah, padahal, aku lulus SD dulu aja belum akil baligh lho, belum dapat mens pertama. Subhanallaah..

Aku dengan anakku, dia dengan cucunya :D


Selesai berbagi cerita, lebih tepatnya wawancara si Ibu, kamipun berpamitan dan kembali melanjutkan perjalanan balik. Dan baru berjalan beberapa kilometer, kami nyangkut lagi di Pantai Camplong, qiqiqiqi, banyak bener sangkutannya. Di blogku ini sudah buanyak banget cerita di Camplong, bisa dibaca di: satu, dua, tiga. *banyak kan? :D ini baru yang aku tulis di blog, belum yang ga kutulis, qiqiqiqi*





Selesai bermain air sudah menjelang Maghrib, lalu bersih-bersih badan, lanjut nyari makan malam, sebelum si anak ganteng yang energinya sudah terkuras habis keburu merem. Dan lagi-lagi, lidahku tertambat di Sate Bumbu deket Masjid Agung Sampang. Rasanya beneran enaaaaakkkk, nyaaaammm.


Alhamdulillaah, setelah perut kenyang, kamipun melanjutkan perjalanan yang tertunda ini dan itu. Liburan di Madura kali ini, so special, makasih buat Papap tercintah, selalu membuat kami tersenyum bahagia. Love you..!! :*

Field Trip: Keraton Sumenep, Madura



Turun dari Asta Tinggi, kami berputar-putar mencari jalan ke Keraton Sumenep. Meskipun sudah ada GPS, tetapi tetep saja GPS asli alias Gunakan Penduduk Sekitar lebih membuat hati tenang *maklum, sudah pernah dibikin kesasar ke jalan tikus ama GPS :P*. Selama ini, pernahnya ke Keraton Jogja, belum pernah ke Keraton lainnya. Alhamdulillaah, kali ini diberi kesempatan untuk melihat warisan Kerajaan Sumenep ratusan tahun silam. Eh, sebelum masuk kawasan Keraton, pengunjung diminta untuk membeli tiket dan mengunjungi Museum Kencana Keraton yang terletak di seberang Keraton terlebih dahulu.



Museumnya tak begitu luas, hanya seperti aula. Isinya selain 2 kereta kencana (1 buatan lokal, 1 hadiah dari Ratu Inggris), kebanyakan perabotan jaman dahulu kala, seperti kursi pertemuan, kursi sidang, tempat tidur raja dan beberapa guci. Konon dulu bangunan museum ini memang untuk garasi kereta kencana lho. Setelah puas melihat-lihat isi museum, kamipun menyeberang untuk mulai masuk ke dalam Keraton.

Kereta kencana yang asli :)


Kini Keraton Sumenep tak lagi dihuni oleh Raja, keluarga, dan segenap abdinya. Setelah Raja ke-36, Sumenep bermetamorfosa, bukan lagi sebuah Kerajaan, dan dipimpin oleh seorang Bupati. Meskipun begitu, kekayaan sejarah yang tak ternilai harganya dan sudah berumur lebih dari 200 tahun ini tetap terawat. Secara fisik bangunan, Keraton ini masih asli. Hanya lantainya yang dipugar dari marmer menjadi keramik, karena rusak dimakan usia. Perbaikan lain hanya pada bagian genting dan pengecatan tembok supaya tetap kinclong.

Di Pendopo Agung


Namanya juga Keraton, pastilah luaaass sekali, menurut info sekitar 12 hektar luasnya. Begitu masuk, kami disambut dengan Gerbang Keraton aka Labang Mesem (pintu tersenyum, gerbang ini dinamakan begini karena dahulu di kedua sisi pintu dijaga oleh orang-orang kerdil yang menyambut pendatang dengan ramah dan penuh senyum). Di sebelah kanan setelah masuk pintu gerbang, ada pintu ke Taman Sare, alias tempat pemandian putri Keraton. *Terkadang aku heran, kalau para wanita dibuatkan tempat mandi khusus, lalu para pria mandinya di mana ya? Masak iya di sungai? Qiqiqiqi*. 

Di depan Labang Mesem

Di bawah Loji, bel penanda jika ada tamu berkunjung

Di sebelah kiri langsung disambut gagahnya Pendopo Keraton, yang begitu teduh, karena di sampingnya ada pohon beringin besar yang usianya sudah pasti ratusan tahun. Sekarang Pendopo ini sering dipakai untuk rapat pemerintahan dan juga pagelaran seni budaya setempat. Di sekitar Pendopo ada beberapa bangunan lagi, namun tidak semua boleh dikunjungi, ada beberapa bangunan/ ruangan yang tertutup untuk umum. Di bagian belakang Keraton, sekarang merupakan rumah dinas Bupati Sumenep

Di depan pintu masuk Bangunan Utama


Bangunan utama keraton terdiri dari dua lantai. Lantai atas merupakan tempat para putri raja yang dipingit selama 40 hari sebelum datangnya hari pernikahan. Lantai bawah ada 4 kamar, yaitu kamar pribadi raja, kamar permaisuri, kamar orang tua pria, dan kamar orang tua perempuan raja. *Jangan tanya kenapa tidurnya terpisah-pisah yaa, karena guide yang memandu kamipun hanya tertawa ketika kutanya hal serupa :D*. Pengunjung tidak diperbolehkan masuk ke bangunan utama, tapi bisa ngintip lewat jendela kaca. Ma syaa Allaah, ruangannya masih ditata seperti masih ada Raja dan Permaisurinya lho, seperti masih dipakai. :)

Kamar Raja Sumenep


Seperti halnya Masjid Agung Sumenep dan juga Asta Tinggi, arsitektur Keraton Sumenep juga dipengaruhi budaya Eropa, Arab, Tiongkok, Jawa, dan Madura.*sepertinya Oom Lauw Pingao ini dulu adalah arsitek paling terkenal, karena membidani Keraton dan Masjid, sehingga Beliau dimakamkan di sekitar Asta Tinggi*. Pilar dan lekuk ornamen bergaya Eropa. Ukiran-ukirannya bergaya Tiongkok: detil ukiran Burung Hong *lambang kemegahan yang disakralkan bangsa Tiongkok*, Naga *lambang keperkasaan*, dan beberapa Bunga Delima *lambang kesuburan*, pun pemilihan warnanya yaitu Merah dan Hijau.

Lambang Keraton Sumenep


Oya, selain yang ada di luar Keraton, ternyata ada lagi museum di dalam Keraton. Museum kedua ini dulunya Kantor Raja, namanya Kantor Koneng (kantor kuning, selain karena catnya berwarna kuning, ternyata kuning melambangkan kulit putri Keraton yang berwarna kuning, makanya rakyat menyebut para putri dengan sebutan Putri Koneng). Koleksinya banyak menyimpan barang pribadi dan perlengkapan sehari-hari keluarga Kerajaan, seperti alat-alat upacara mitoni/ tujuh bulanan kehamilan keluarga raja, senjata kuno (baik tradisional maupun hadiah dari bangsa lain), baju besi, Al-Qur'an yang konon ditulis Sultan Abdurrahman dalam sehari semalam, barang pecah belah asli made in Tiongkok, patung dan arca, baju kebesaran Raja, sampai tulang ikan paus yang terdampar di Sumenep tahun 1977.

Tiruan kereta kencana, dipakai saat pawai ultah Sumenep
Lokasi: Kantor Koneng

Museum berikutnya berupa bangunan yang katanya dulu tempat Bindara Saud menyepi. Rumah ini ada 5 bagian, yaitu teras, 2 kamar di sisi kiri dan 2 kamar di sisi kanan. Koleksinya tidak sebanyak di museum sebelumnya, hanya beberapa seperti sendal jaman dahulu, ranjang, seperangkat kursi, baju kulit harimau, sarung, aneka lampu, dan apa lagi ya, lupa, hehehe.

Sandal jaman dahulu :)
*membayangkan makainya aja sudah capek sendiri*

Setelah puas berfoto dan mendengarkan cerita dari guide kami yang ramah dan sabar, kamipun menyudahi wisata sejarah ini. Tak lupa sebelum beranjak pergi, sekalian nanya, kuliner khas Sumenep sini apa? Berdasarkan petunjuk mas guide, dari Keraton kami kembali ke jalan menuju kota, di perempatan pertama, belok kanan, lalu kurleb 50 m, di sebelah kanan ada gang kecil dan ada papan namanya. Nah, parkir mobil di pinggir jalan, lalu masuk deh ke gang kecil itu. Warungnya kecil, tapi ramaaiiii. Alhamdulillaah, bisa ngerasain yang namanya Soto Kikil, klu Kaldu Kokot, nanti kuceritakan terpisah di postingan selanjutnya yaa. Nom nom nom.. ^_^

Penampakan kroket singkong dan soto kikil :)


Field Trip: Asta Tinggi, Sumenep


Di depan Gerbang Timur

Setelah puas mengagumi arsitektur Masjid Agung Sumenep, kami bergegas menuju ke Asta Tinggi (Asta Tenggih klu diucapkan dengan logat Madura). Apakah itu? Asta Tinggi adalah areal pemakaman para Raja Madura dan keluarganya. Letaknya memang di dataran tinggi gitu. Kenapa kami ke Asta Tinggi? Jujur, karena penasaran, seperti apa rupa makam para Raja, thats it.

Setelah menempuh jalanan mendaki, sampai juga kami di Asta Tinggi. Kawasan makam ini sudah ada sejak tahun 1750 M, dan terdiri dari 7 kawasan:
  1. Kawasan Asta Induk, terdiri dari :
    Kubah Pangeran Pulang Jiwa
    Kubah Kanjeng Tumenggung Ario Cokronegoro III (Pangeran Akhmad atau Pangeran Jimat)
    Kubah Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saud)
    Kubah Panembahan Notokoesoemo (Mohammad Saleh)
  2. Kawasan Makam Ki Sawunggaling (pembela Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro saat terjadinya upaya kudeta/perebutan kekuasaan oleh Patih Purwonegoro)
  3. Kawasan Makam Patih Mangun
  4. Kawasan Makam Kanjeng Kai/ Raden Adipati Suroadimenggolo Bupati Semarang (mertua Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I)
  5. Kawasan makam Raden Adipati Pringgoloyo/ Moh. Saleh, dimana beliau tersebut pada masa hidupnya menjabat sebagai Patih pada Pemerintahan Panembahan Somala dan Sri Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I
  6. Kawasan Makam Raden Tjakra Sudibyo, Patih Pensiun Sumenep
  7. Kawasan Makam Raden Wongsokusomo.
Kami hanya berhenti di Asta Induk, alias yang paling tinggi posisinya. Di dalam kawasan Asta Induk maupun di dalam Kubah, ada banyak sekali makam. Yang di dalam Kubah pastinya Rajanya sendiri, istri, anaknya, keluarganya, dll. Nah, yang di luar kubah, entahlah siapa lagi, karena ada banyaaaak sekali dan kondisinya sebagian sudah lapuk dimakan usia. Di dalam Asta Induk ada 2 gerbang besar, Gerbang Barat dan Gerbang Timur. 

Di depan Kubah Makam Panembahan Notokoesoemo

Gerbang Barat

Setelah melewati beberapa makam di kanan kiri, terdapat dua kubah makam, sebelah kiri adalah Kubah Makam Pangeran Jimat, sedangkan sebelah kanan Kubah Makam Bindara Saud.

Dari banyak makam di Asta Tinggi, yang paling terkenal adalah Bindara Saud (Tumenggung Tirtonegoro), karena beliau merupakan wali. Kewalian itu sudah tampak semenjak masih dalam kandungan. Saat itu sang Ayah datang dari luar rumah lalu mengucap salam, Bindara Saud yang masih dalam kandungan bisa menjawab salam tersebut. Bindara Saud adalah suami kedua dari Raden Ayu Tirtonegoro, satu-satunya wanita yang memimpin Sumenep sebagai adipati ke-30.

Kubah Makam yang ketiga, adalah Kubah Makam Pangeran Pulang Jiwa. Letaknya, berada paling belakang dari dua Kubah Makam milik Bindara Saud dan Pangeran Jimat.

Gerbang Timur

Setelah memasuki Gerbang Timur, sama seperti di Gerbang Barat, sebelum menuju ke Kubah Makam Panembahan Notokoesoemo, di samping kanan-kiri terdapat banyak makam.

Kawasan Asta Tinggi selalu ramai didatangi oleh peziarah dari berbagai penjuru. Oleh karena itu, kami hanya berfoto saja di Gerbang Timur *tidak sampai masuk ke dalam kubah*, lalu langsung melanjutkan perjalanan ngebolang ke tempat lain. :)

Field Trip: Masjid Agung Sumenep, Madura


Jepret dulu sebelum checkout
  
Setelah kemarin sore puas bermain air di Pantai Lombang. Malamnya kami menginap di Musdalifah Hotel & Resort, di Jl. Trunojoyo No.292 Sumenep *hotel yang paling memikat mata di antara hotel lain*. Biasanya hotel yang kami sukai adalah yang bangunannya modern, maksudnya bukan hotel yang kesannya bangunan kuno *horor bin serem gituh, qiqiqi*. Tapi kalaupun misalnya ga nemu yang sesuai keinginan, tak juga menjadi soal. Sekalian untuk mendidik VaRo, supaya lebih tahan banting saat menemui berbagai hal yang terkadang tak terduga. Dari homestay, hotel kelas melati sampai bintang 5 sudah pernah kami jajal. Alhamdulillaah, kami bukan termasuk orang yang rewel soal penginapan, asalkan fasilitas dan pelayanannya sesuai dengan rate yang dibandrol, its fine. :)

Di depan gerbang Masjid


Paginya setelah mandi dan sarapan, kami langsung check out untuk City Tour. Tujuan pertama adalah Masjid Agung Sumenep *konon tertua di Madura, nama aslinya Masjid Jamik Panembahan Somala*. Letaknya persis berhadapan dengan Alun-Alun Taman Kota Adipura Sumenep. Luasnya sekitar 100 meter persegi, dilengkapi dengan bangunan sekretariat, pesanggrahan kiri dan kanan, toilet, tempat wudhu serta tempat parkir. Dibangun ratusan tahun lalu setelah pembangunan Keraton Sumenep di era pemerintahan Panembahan Somala *alias Tumenggung Arya Asirudin Natakusuma I*, Adipati Sumenep ke-31 *sekitar tahun 1779-1787* sebagai tempat ibadah bagi keluarga keraton dan masyarakat umum.

Di depan pintu utama Masjid


Arsitektur Masjid terpengaruh dari banyak budaya, ada Tiongkok, Arab Persia, Eropa, Jawa, dan Madura sendiri. Arsiteknya sama dengan arsitek Keraton, yaitu Oom Lauw Piango yang asli Tiongkok dan menetap di Sumenep hingga akhir hayatnya.
- Pintu gerbang Masjid *sekaligus pos penjagaan* bernuansa Tiongkok dan Portugis
- Arsitektur Arab Persia tampak di kubah kecil di puncak bangunan yang ada di sudut kanan-kiri halaman masjid.
- Atap limas bersusun dengan puncak bagian atas menjulang tinggi layaknya atap joglo di Jawa
- Bangunan utama yang terdiri dari 13 pilar besar dan ukiran yang menghiasi 10 jendela dan 9 pintu sangat dipengaruhi budaya Jawa
- Pemilihan warna pintu utama dan jendela Masjid kental nuansa Madura
- Bentuk mihrabnya bernuansa kebudayaan Tiongkok dengan hiasan keramik khas Tiongkok
- Minaret setinggi 50 meter di sebelah barat masjid dipengaruhi oleh arsitektur Eropa.

Itu pedang yang dari Irak, awalnya sepasang,
satunya hilang tak pernah kembali

Setelah pembangunan masjid ini selesai, Pangeran Natakusuma memberikan wasiat yang harus dipatuhi:

"Masjid ini adalah Baitullah, berwasiat Pangeran Natakusuma penguasa di negeri/ keraton Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah (selaku penguasa) dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat Masjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya Masjid ini wakaf, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak."

Suasana di dalam Masjid

Oya, biasanya pintu utama Masjid hanya dibuka saat waktu shalat tiba. Alhamdulillaah, rejeki anak shalih shalihah, pas kami datang, waktu foto-foto di depan pintu, didatangin salah satu marbot Masjid, ditanyain dari mana kami berasal. Setelah menyebutkan asal kami, malah dibukain lhoo pintunya, dinyalakan lampunya, dan dipersilakan kalau mau foto-foto di dalam Masjid. Selesai foto dan ngobrol-ngobrol, kami keluar dan pintu utama ditutup lagi. *Semoga selalu dikaruniai kesehatan dan kelancaran rizki yaa pak marbot baik hati*.

Teringat nasehat Ibu Bapak, "Di manapun kamu berada, Nduk. Tetep jaga sopan santun, jadilah orang yang ramah dan membumi. Maka urusanmu akan dipermudah". Alhamdulillaah, terima kasih Ibu Bapak *Al-Fatihah*, nasehat yang sama, kini kuturunkan kepada VaRo. ^_^

Cerita lebih kumplit bisa dibaca di sini yaa teman-teman. Jangan lupa kalau lagi ke Sumenep, mampirlah ke Masjid Jamik. ^_^

Berpose di serambi Masjid
Saturday, October 24, 2015

Field Trip: Pantai Lombang, Sumenep



Setelah anak lanang menempuh Ujian Tengah Semester, saatnya ngebolang lagi, refreshing, penyegaran mind body and soul biar awet muda. Ini adalah UTS pertama, jadilah yang paling mules dan nerpes binti degdegserr adalah si Emak, qiqiqiqi. Well, sebenernya sudah lamaaa sekali wacana ke Sumenep. Dan karena belum diridhai sama Allaah, jadilah rencana tinggal rencana, belum kesampaian juga, sampai sekarang. Alhamdulillaah 'ala kulli haal. ^_^

Kenapa ke Sumenep? Karenaaa, emang belum pernah ke sana, dan lagi menurut bapak supir tercuintah, yang sudah jelas adalah jalanan relatif sangat lancar. Ga perlu takut momok berupa kemacetan. Palingan macetnya karena mampir-mampir kulineran aja.



Pantai Lombang (dalam pengucapannya disebut "lombheng") ini terletak di sebelah timur Sumenep, sekitar 25 km dari pusat kota. Ombaknya tenang, pasirnya putih dan halus. Kalau kata VaRo, pasirnya seperti tepung. Uniknya lagi, di pantai ini terdapat banyaaaakkk sekali cemara udang berjajar mengikuti garis bibir pantai, cucok buat berteduh saat siang hari. Dan ternyata sejarah si endemik cemara udang ini, dimulai dari jaman dahulu kala saat ekspedisi besar Kekaisaran Tiongkok. *Waaahh ternyata ini masih ada hubungannya dengan Dampo Awang Beach tempat kami ngebolang kemarin lhooo. Bisa di baca di sini niy hubungannya apa*. :)

Selain bermain air dan pasir pantai, di sini juga bisa naik kuda. Whuhuuuuuu. Kali ini kuda yang kami naikin namanya Arjuna, keren ya. Dengan membayar Rp.15.000 *tanpa nawar* kita sudah bisa menyusuri pinggiran Pantai Lombang *yaa meskipun ga sampai sepanjang pantai yang hampir 12 km yaa*.



Kami bermain di pantai sampai puas, berbasah dan berkotor ria dengan pasir hingga matahari tenggelam. Iya, bahkan saat kami mandi, langit sudah gelap, dan kami sepertinya nomor 2 terakhir yang beranjak dari kawasan pantai. Karena di belakang kami masih ada 1 mobil yang parkir saat kami berlalu, kembali ke pusat kota untuk menuju penginapan. Yeeaaaayyy, akhirnya kesampaian juga ke Pantai Lombang, setelah sekian lama hanya bisa membayangkan saat mendengarkan ceritanya.



Kalian sudah pernah ke Lombang belum? Kalau belum, berkunjunglah, bercengkramalah dengan alam, supaya hatimu tenang dan hidupmu damai. Dan seperti biasa, ga bosan-bosannya nitip pesan, kemanapun dan dimanapun ngebolang jaga kebersihan dan jaga attitude yaa. Ayo dolaaann..!! :)