Dieng, sebuah gunung api purba raksasa tepat di tengah Pulau Jawa (poros Jawa), tempat bersemayamnya dewa-dewi, yang ketinggiannya rata-rata 2000 mdpl, inilah destinasi kami berikutnya. Nama Dieng berasal dari gabungan dua kata bahasa Sansekerta: "Di" yang berarti tempat/ gunung/ tinggi dan "Hyang" yang bermakna dewa.
Dengan menempuh perjalanan yang ga terlalu lama dari Purwokerto dan diiringi hujan deras. Kami tiba di Kota Wonosobo menjelang Maghrib dan memutuskan menginap di hotel pertama yang kami jumpai. Dan ternyata, rate-nya tinggi banget, dengan fasilitas yang jika dibandingkan dengan Hotel Wisata Niaga Purwokerto jauuuhhh. Okelah, buat pengalaman, lain kali, mungkin mending menginap di Home Stay di area Dieng yang bisa dijumpai di sepanjang jalan naik ke Dieng, karena ternyata di malam hari, tak banyak yang bisa dilihat di Kota Wonosobo. Malam hari kami hanya keluar nyari mie ongklok aja, hehehe. Selebihnya edit foto sama main game di hotel *karena kamar hotel ga ada wifi-nya, hiks hiks*.
Keesokan paginya, selesai sarapan, kami langsung naik ke Dieng. Hawa sejuk cenderung dingin menusuk mulai terasa (suhu rata-rata siang 12-20 dc, malem 6-10 dc -> Baju hangat wajib hukumnya). Mendaki jalan berkelok kelok, beberapa kali menembus awan, kami benar-benar berada di Negeri di Atas Awan, negeri khayangan, negerinya dewa dewi. Oya, perjalanan dari Wonosobo ke Dieng ini ada filosofinya, klik di sini deh, website Guide kami tuh, ilmunya keren. :)
Bagi yang pertama kali ke Dieng, kalau belum/ ga sempat browsing, kami sarankan untuk menyewa guide aja, supaya lebih runtut dan bisa nyampe ke spot-spot yang mungkin kita ga akan tahu juga klu jalan sendiri. Biaya untuk guide itu sendiripun sangat terjangkau, sebandinglah dengan informasi dan segala yang kita dapatkan selama di perjalanan, karena yaa, kawasan Dieng itu luaaasss, jadi antara yang satu dan lainnya ya harus ditempuh dengan kendaraan beberapa menit perjalanan.
*Contact me klu butuh nomor hp guide-nya.
Di parkiran utama, ada semacam mading yang menggambarkan kawasan wisata Dieng secara keseluruhan, di sebelahnya juga ada penginapan yang dulunya sering dipakai pak Soeharto (Presiden ke-2 Indonesia), klu sekarang siy bisa disewa jika ada meeting. Kali ini kami tidak akan berkunjung ke semua destinasi di Dieng, karena waktu sehari ga akan cukup untuk bisa explore maksimal, mengingat ada banyak sekali kawah dan telaga di kawasan Dieng, air terjun, museum, kebun teh, puncak, dan gardu pandang. Jadi kami akan mengunjungi yang prioritas saja. Kalau mau cerita kumplit tentang Dieng, bisa ke Dieng Plateau Theater. ^_^
Tujuan pertama kami adalah kelompok Candi Arjuna. Kelompok ini terdiri dari 5 buah bangunan candi. 4 candi berada pada deretan yang sama yaitu; candi Arjuna, candi Srikandi, candi Puntadewa dan candi Sembadra, sedangkan sisanya adalah candi Semar yang bentuknya terlihat paling beda dan berdiri di hadapan candi Arjuna. Di komplek ini juga terdapat reruntuhan bangunan yang dahulu merupakan bangunan Darmacala, yaitu bangunan yang dijadikan sebagai tempat tinggal para pemuka agama Hindu dan para santri Hindu.
Sisa danau yang dulu menenggelamkan kawasan Candi |
Dulu kala, candi-candi di Dieng sempat tenggelam dan terkubur dalam danau/ rawa-rawa. Hingga kemudian pada tahun 1814 ditemukan kembali oleh seorang tentara inggris yang tengah berlibur. Namun baru dilakukan upaya pengeringan rawa dan pembersihan candi mulai tahun 1956 yang kemudian dilanjutkan kembali pada tahun 1864 oleh pemerintah Hindia Belanda. Hingga kini penelitian mengenai candi-candi di Dieng terus dilakukan. Meski begitu, belum ditemukan catatan-catatan atau informasi tertulis mengenai sejarah Candi Dieng kecuali sebuah prasasti dengan angka tahun 808 Masehi, yang merupakan prasasti tertua bertuliskan huruf Jawa kuno. Dari prasasi tersebut, Para ahli memperkirakan bahwa kumpulan candi ini dibangun atas perintah raja-raja dari Wangsa Sanjaya.
Puas belajar di kawasan Candi Arjuna, kami menuju Candi Bima, candi tertinggi di kawasan Dieng. Candi-candi ini memang dinamakan seperti di cerita Mahabharata, ada juga kelompok Candi Gatotkaca, dan kelompok Candi Dwarawati. Seperti kita tahu, candi selalu dibangun dengan batu yang sangat tertutup, hanya ada pintu masuk saja, tak ada jendela ataupun angin-angin, jadilah di dalam gelap sekali. Ada trik, supaya mata kita bisa melihat jelas di dalam candi, tanpa bantuan alat penerangan. Caranya, begitu masuk candi, berdirilah, tatap ujung atap candi, lalu tutuplah mata beberapa menit. Setelah itu bukalah, dan lihatlah ujung atapnya, lalu, rasakan apa yang terjadi. :)
*Informasi lengkap tentang kawasan percandian bisa cek di sini.
Pemandangan di Kawah Sikidang didominasi warna putih endapan belerang, serta buih-buih air yang merembes lewat rekahan-rekahan tanahnya jika disentuh masih terasa hangat. Hal ini membuat VaRo jadi ngeri, dan akhirnya, minta gendong dengan suksesnya, karena dia sempat menginjak tanah yang kebetulan suhunya di atas rata-rata. Oya, berhubung tubuh Dieng mengandung panas yang luar biasa, maka di Dieng ada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, supaya panasnya tersalurkan dan tidak membuat ulah dengan meletus dan menyemburkan gas beracun yang membahayakan manusia.
Cuaca di Dieng sangat unpredictable, sebentar panas sebentar hujan, berubah-ubah sesukanya. Itu jugalah yang membuat kami bertiga setengah berlari kembali ke mobil karena tiba-tiba air turun dari langit. Eh kok bertiga aja, iyaa, soalnya VaRo digendong pakdhe Guide, mana sambil dinyanyiin lagi, qiqiqiq, ya senenglah dia. Sampai parkiran, bukannya masuk mobil, kami malah masuk warung bakso, qiqiqi. Lumayan euy buat menghangatkan tubuh, saking dinginnya, bakso mengepulpun rasanya biasa aja. Kalau di Purwokerto ada tempe mendoan, di Wonosobo ada tempe kemul, semua sama-sama enaknya, apalagi tinggal makan, makan cuma satu itu nylilit, harus yang banyak. :D
Selesai makan bakso dan hujan mereda, kami bergegas naik ke Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Alih-alih lewat jalan biasa, kami diantarkan menuju lokasi pandang yang berbeda. Seru deh, menyeberangi kebun kentang, buah carica, naik-naik tebing, dan voilaaa, sampailah di atas sebuat batu. Dari situ terlihat jelas Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Sayang disayang cuaca tidak sedang bersahabat, tau kalau kami dari daerah super hot bernama Surabaya, jadinya air sana demen banget menyapa. Beberapa menit menikmati keindahan alam, awanpun datang, mendadak sekeliling berwarna putih, tak terlihat apa-apa, dan breessss, hujanpun turun dengan suka cita. Kami yang berteduh di "pos pantau", hanya bisa merapatkan tubuh kedinginan, qiqiqiq, kalau aku siy sudah tertutup dari ujung rambut sampai ujung kaki. Yang kasian VaRo, memang siy dia pakai jaket dan topi, tapiiii celananya pendek, alhasil menggigil kedinginan.
Telaga Warna ini dikelilingi oleh hutan lebat dan bukit yang masih asri, udara segar, dan pemandangan khas pegunungan yang membuat siapa saja betah berlama-lama, keunikannya berupa warna permukaan yang berubah-ubah, yang didominasi warna hijau kebiruan serta putih (disebabkan oleh endapan belerang yang ada di dasarnya). Di sebelahnya ada Telaga Pengilon, sesuai namanya, air telaga ini tidak berwarna seperti telaga warna atau telaga lain di Dieng, airnya bening, sehingga bisa digunakan untuk berkaca. Dan di sekitarnya ada beberapa goa alam yang bernuansa mistis seperti Goa Semar, Goa Jaran, Goa Sumur, dll. Goa-goa ini kerap digunakan untuk bersemedi lho, bahkan Presiden ke-2 Indonesia, pak Soeharto, kerap bersemedi di Goa Semar.
Dieng memang beda, di bulan-bulan tertentu (Juli-Agustus) suhu bisa mencapai 0 dc bahkan minus, membuat embun beku di dedaunan saat pagi, yang disebut "bun upas" alias embun racun, karena membuat taneman rusak. Jadi bagi warga asli Dieng, sudah pasti punya perapian, untuk digunakan menghangatkan tubuh di malam hari. Sambil menunggu hujan reda, kami mendengarkan cerita tentang "Legenda Anak Gembel". (Menurut kepercayaan warga setempat, anak gimbal merupakan anugerah dari para dewa sehingga fenomena ini patut disukuri. Rambut gimbal tidak secara alami tumbuh ketika mereka dilahirkan, namun tumbuh saat usia mereka menginjak 1-2 tahun. Karena rambut gimbal bisa membawa keberuntungan ataupun kesialan, makanya perlu diruwat supaya hilang sialnya, saat diruwat, rambut gimbal dipotong dan semua permintaan anak harus dipenuhi, karena kalau tidak, meski dipotong habis, akan tumbuh gimbal lagi, bahkan si anak bisa sakit-sakitan). Seru deh, sampai akhirnya hujan mulai reda, awan mulai pergi, kamipun turun lagi ke bawah, saatnya meneruskan perjalanan ngebolang kami.
Well, Dieng membekas di hatiku, satu saat nanti in syaa Allaah akan dolan lagi, melihat daerah Dieng lain yang belum sempat dikunjungi, pingin trekking ke Sikunir, berburu telor ceplok raksasa, dll, dsb, dst. Semoga cuaca sedang bersahabat saat itu, supaya bisa puas melihat dan foto-foto. Aamiin YRA. :)
0 komentar:
Post a Comment