Tuesday, January 27, 2015

Field Trip: Baturraden, Purwokerto


Setelah mengarungi ratusan kilometer dari rumah Masku di Bekasi, sampailah kami di kota kenangan, Purwokerto. Kenangan apa? Banyaaaakk? Di kota itu, suamiku dulu ngangsu kawruh, menuntut ilmu meskipun ilmu tidak salah, belajar hidup mandiri jauh dari orang tua, jadi anak kos, jadi anak SMK, jadi cikal bakal lelaki hebat yang merajai hatiku, ihiiirr :D

Sekali lagi, ini adalah pertama kalinya, ngebolang dari arah Barat, banyak sekali perubahan di kota ini, suami aja yang menghabiskan 3 tahun masa mudanya di sini agak kebingungan juga. Maklumlaah, dulu kan waktu SMK masih jaman tirakat, boro-boro melancong kemana-mana, yang ada duduk anteng, kelola uang saku dari orang tua dengan bijak, sinau yang bener, ga usah neko-neko, titik. Eh tapi meskipun ga keliling kota, dia dulu kelilingnya dari gunung ke gunung. :)

Oya, dari Bekasi, kami melewati jalur selatan, melewati tol super mulus dengan pemandangan yang aduhai, subhanallaah indahnya, segeerrrr. Lepas tol juga disambut jalanan berkelok dengan ijo-ijo yang banyak, membuatku dan anak lanang tertidur pulas, tinggallah suamiku sendirian, dalam keheningan, hehehe. Berangkat sekitar jam 10 pagi, mampir maksi dan shalat di rest area tol, juga mampir nyari VCD di gerai minimarket yang ditemui di jalan. Kenapa coba? Yaa buat teman pak supir ganteng, karena di mobil Bapak ga ada port USB, dan kamipun ga punya VCD, klop deh. Kalau sedang di kota, lumayan dapet siaran radio setempat, begitu di tempat sepi, wassalam, ditemeni suara mesin aja. Masuk Purwokerto waktu Maghrib, sambil memelankan laju mobil, menikmati pemandangan kota.

Sebelum kami ngebolang, sudah nyari-nyari hotel yang kira-kira nyaman dan bersahabat di kantong, referensi aja, belum booking juga, karena kami klu ngebolang kadang suka meleset jadwalnya, molor gitu. Pertama kali nginep di hotel niy dalam perjalanan kali ini, sejak awal tidurnya di rumah saudara terus, eh di Lampung sempat tidur hotel, tapi gratisan. Sebelum memutuskan jadi bobok manis di hotel mana, kami harus memenuhi hak perut, Resto Pringgading pilihan kami. Kenapa makan di situ? Usut punya usut, ternyata itu impian suami sejak dia masih sekolah, dulu cuma bisa ngiler aja, mupeng pingin makan di situ, cuma ngeri aja sama harganya, mending di warung dekat kosan, makan sepuasnya, perut kenyang, kantong aman. Jadilah sekarang dia ajakin anak istri buat menebus impiannya. Perut kenyang, lanjut nostalgia, menengok sekolah tercinta, foto-foto gerbangnya aja, lalu langsung menuju hotel.


Mendoan, khas Purwokerto
Gethuk Goreng, khas Purwokerto
Atas rekomendasi dari salah satu teman, kami menjatuhkan pilihan ke Hotel Wisata Niaga (Jalan Merdeka No.5)dan beneran ga salah pilih, TOP BGT..!! Harga sama fasilitas sebanding, sarapan juga bisa minta include atau endak, hotel di tengah kota, kamar nyaman, mobil dicuciin pula. Cucok deh. Boleh banget kalian buat nginep di sini klu pas singgah di Purwokerto.

Pagi harinya, kami sempatkan ke alun-alun kota, nostalgia kejadian hampir 9 tahun yang lalu, bedanya dulu naik angkot rame-rame sama temen-temen, sekarang bertiga aja. Sampai alun-alun kaget bukan kepalang, lha kok sepi, qiqiqiq, kemana perginya penjual serabi Kamir dan "dorayaki" favorit itu? Ya sudahlah, foto-foto dulu, kejar-kejar burung emprit dulu, keliling alun-alun dulu, baru nanya ke salah satu petugas kebersihan. Eh ternyata ramenya cuma Minggu aja pas CFD, ealaaaahhhh, begitu to ceritanya. Baiklah, akhirnya melipir kalem keliling kota dulu, lalu ke serabi Kamir sesuai petunjuk si bapak tadi. Jam 8 di kota Purwokerto, kok ya ga ada warung soto atau apapun yang buka ya, padahal kami terlanjur ga pake paket sarapan di hotel. Alhamdulillah di sebelah serabi ada penjual makanan, sekalian makan aja udah, biar balik hotel tinggal mandi, packing, checkout, dan naik ke Baturraden.


2006 vs 2015


Kenapa dinamakan Baturraden? Konon katanya, jaman dahulu, di sebuah Kadipaten hiduplah seorang pembantu yang bernama Suta yang menjalin asmara dengan Radennya, yakni Putri adipati. Keduanya benar-benar merasa saling jatuh hati dan berencana meningkatkan hubungan mereka ke tali pernikahan, namun tidak mendapat restu dari kedua orang tua dengan alasan berbeda derajat dan martabatnya di antara mereka, nah makanya daerah itu dinamakan Baturraden (Batur = Pembantu, Raden = sebutan untuk Putri Adipati/ ningrat). Dulu, tahun 2006, aku pernah ke Baturraden, rame-rame bersama teman-teman, termasuk si belahan jiwa, jadi yaa bisa dikatakan tempat ini penuh kenangan manis. Ternyata banyak sekali perubahannya, yaa harusnya juga siy, masak iya dari tahun 2006 ga ada perbaikan, sungguh ter la lu. Lereng Gunung Slamet ini memang sejuuukkk, menyenangkan mendaki menuruni jalanan. Sayang kebun binatang mini sudah ga ada. Kami banyak foto-foto di sana, selebihnya naik perahu bebek sama ngasih makan ikan di kolam. VaRo senang sekaliiii, habis berapa bungkus itu, berbungkus-bungkus pakan ikan sambil nyemplungin kaki di kolam yang airnya dingiiiinn. Jangankan VaRo, emaknya juga demen inih..!!



Duluuuuu, kami naik sampai Pancuran Pitu, membelah hutan, mendaki jalan setapak, serunya bukan main. Sekarang tau diri, bawa bocah kecil juga, klu capek, mosok mau gantian gendong, capeklah, qiqiqi. Kami puaskan diri aja mainan di bawah, nanti klu ada waktu ke sini lagi, klu anak udah agak gedhe, bolehlah naik ke Pancuran Pitu, akunya kali yang harus banyakin latihan yaa, biar ga tersengal-sengal.

Bulan Januari, kata orang Jawa "hujan sehari-hari", sepertinya bener juga, langit udah batuk-batuk, waktunya undur diri, melanjutkan ke destinasi berikutnya. Sampai jumpa di cerita kami ngebolang di Dieng yaa ^_^

*Bersambung..

0 komentar: