Saturday, August 31, 2019
Beberapa waktu lalu dapet WA di grup yang isinya bagus, bisa kita ambil yang baik dan kita terapkan untuk mengasuh buah hati kita. Semoga bermanfaat
===
By: Harjanto Halim
Saya diundang ke acara seminar pola-asuh (parenting) di sebuah Sekolah Dasar. Temanya 'Mendidik Siswa Milenial'. Acaranya jam 9, tapi saya datang terlambat, jam 10 lebih. Saya masuk dari belakang dan duduk di bangku paling belakang, agar tidak mengganggu acara.
Saya menyimak sebentar dan saya langsung tertarik. Pembicaranya seorang wanita, seorang doktor psikologi. Cara membawakannya santai, bahasanya ringan, dibumbui humor dan kisah lucu. Contoh yang diangkat dari peristiwa sehari-hari; kadang dari keluarganya sendiri, anak-anaknya, kadang dari tingkah polah anak didiknya, mahasiswanya.
Saya sangat suka saat ia menunjukkan sebuah tabel yang memetakan: kelompok usia anak, perkembangan mental di kelompok usia tertentu, siapa yang berperan, dan apa yang terjadi jika pendidikan berhasil.
Di tahap usia 0-3 tahun, anak belajar tentang rasa percaya vs rasa curiga, yang paling berperan dalam kelompok usia ini adalah Ibu, jika pendidikan berhasil, tahap ini menghasilkan rasa optimis.
Usia 3-5 tahun, anak belajar mandiri vs ragu-ragu, yang paling berperan adalah Ayah dan Ibu, hasil pendidikan di tahap ini adalah kontrol diri dan motivasi.
Usia 5-7 tahun; belajar insiatif vs rasa bersalah; peran Ayah, Ibu, saudara; hasil: perilaku yang mudah diarahkan.
Usia 7-12 tahun; belajar motivasi kuat vs rendah diri; peran Ayah, Ibu, Guru, teman; hasil: pandai mengelola konflik.
Usia 13-19 tahun; belajar identitas diri vs kabur; peran orang dewasa dan sahabat; hasil: setia, rasa sosial tinggi, stabil, tidak mudah terpengaruh.
Usia 20-30 tahun; belajar keakraban vs isolasi; peran pasangan hidup; hasil: cinta keluarga.
Menarik, bukan?
"Maaf, bukannya saya menganggap peran guru sama sekali tidak ada. Saya juga guru," ujar sang psikolog meneruskan paparannya. "Tapi fungsi orangtua, terutama Ayah, tak tergantikan, bahkan oleh seribu guru sekalipun."
Hmm. Orangtua, terutama Ayah, tak tergantikan seribu guru.
"Orangtua harus mau berkorban, mengasuh dan menjaga sepenuhnya hingga anak umur 12 tahun, hingga SD," imbuhnya dengan bersemangat.
Okay.
"Karena setelah itu peran teman dan guru mulai membesar..."
Menarik.
"Jadi kalau ada anak SMP atau SMA nakal atau berulah, jangan cuman panggil orangtuanya, percuma," ujar sang psikolog mantap. "Panggil siapa?"
Dan kami menjawab serentak, "Temannya..."
"Bener!" Sang psikolog manthuk. "Panggil temannya, sahabatnya, ajak mereka bicara untuk membantu..."
Hmm...
"Kalo mahasiswa saya ada yang bermasalah, malas kuliah misalnya," ujar sang psikolog. "Saya ndak mungkin panggil orangtuanya, siapa saya panggil...?"
Dan kami pun ber-koor, "Pacarnya!"
"Bener!" Sang psikolog menganggukkan kepala dengan mantap.
Saya terus menyimak.
Benar apa yang dipaparkan si pembicara, lingkungan yang berperan dalam pertumbuhan mental seorang anak berubah dari waktu ke waktu, sesuai tahapan usia. Awalnya orangtua, lalu keluarga, lalu guru, teman, dan terakhir pasangan hidup.
"Hampir semua anak selalu ngefans sama papanya." Si pembicara meneruskan paparannya.
"Mereka sangat kecewa saat papanya gagal memenuhi tiga kriteria utama seorang ayah. Apa saja itu?," tanya nya dengan nada memancing.
Apa, ya? Saya ndak tahu. Naga-naganya topik ini sudah dibahas sebelum saya datang..
Seorang guru mengacungkan jari.
"Ya, apa saja, Pak?" Si pembicara menuding si bapak guru yang kini berdiri.
"Mencari nafkah," jawab si bapak guru.
"Bener, mencari nafkah."
"Mendidik karakter..."
"Ya, bener, dan yang ke-tiga?"
"Umm..." Si bapak guru tidak segera menjawab.
Lho, kok ragu?
"Mencintai istrinya..."
Oalah.
Saya tersenyum. Mencari nafkah, mendidik karakter anak, mencintai istri; tiga kriteria utama seorang ayah, seorang suami. Adakah yang belum kita penuhi?
Saya banyak belajar hari ini.
"Dan yang terpenting dilakukan bukan 'quality time', tapi 'quantity'. Bukan kualitas tapi kuantitas..."
Maksudnya?
"Lha ndak mungkin tiap kali punya 'quality time'," imbuh si pembicara. "Mosok kita mau bilang gini sama anak, 'Ayo, cepet-cepet, kamu mau ngomong apa sama mama, curhat apa? Ayo cepet, ini mama sejam lagi ada seminar. Cepet, cepet, kita quality time'..."
HªHŪHÁª, kami ngakak. 'Quality time' tidak bisa dipaksa, disusu-susu, harus terjadi secara spontan, misterius, dan itu butuh waktu.
Kuantitas.
"Sama suami atau istri juga begitu. Mosok mau bilang, 'Ayo, Mah, kita quality time, yuk. Ngomong apa ya, enaknya?'..."
HªHŪHÁª, kalau diskenario atau dipaksakan, malah garing, mati gaya.
Bubar.
"Saat kita bisa ngomong, guyon, cerita hal-hal yang lucu, ndak mutu, ndak berkualitas, terus kita bisa tertawa bareng, ngakak bareng, itulah quality time, itulah kualitas," tandas sang psikolog.
Bener.
Saat omongan kita, diri kita tampil rak mutu, 'quality time' tercipta. Karena saat 'rak mutu' itulah kita tampil sebagai pribadi yang seutuhnya, tulus, ikhlas, apa adanya, tanpa tedeng aling-aling.
Itulah kualitas terbaik kita sebagai manusia.
Saya tersenyum. Saya jadi kangen mendengar Istri yang hampir tiap bangun pagi selalu bercerita tentang mimpinya yang rak mutu.
Agustus 2019
Parenting Rak Mutu
Beberapa waktu lalu dapet WA di grup yang isinya bagus, bisa kita ambil yang baik dan kita terapkan untuk mengasuh buah hati kita. Semoga bermanfaat
===
By: Harjanto Halim
Saya diundang ke acara seminar pola-asuh (parenting) di sebuah Sekolah Dasar. Temanya 'Mendidik Siswa Milenial'. Acaranya jam 9, tapi saya datang terlambat, jam 10 lebih. Saya masuk dari belakang dan duduk di bangku paling belakang, agar tidak mengganggu acara.
Saya menyimak sebentar dan saya langsung tertarik. Pembicaranya seorang wanita, seorang doktor psikologi. Cara membawakannya santai, bahasanya ringan, dibumbui humor dan kisah lucu. Contoh yang diangkat dari peristiwa sehari-hari; kadang dari keluarganya sendiri, anak-anaknya, kadang dari tingkah polah anak didiknya, mahasiswanya.
Saya sangat suka saat ia menunjukkan sebuah tabel yang memetakan: kelompok usia anak, perkembangan mental di kelompok usia tertentu, siapa yang berperan, dan apa yang terjadi jika pendidikan berhasil.
Di tahap usia 0-3 tahun, anak belajar tentang rasa percaya vs rasa curiga, yang paling berperan dalam kelompok usia ini adalah Ibu, jika pendidikan berhasil, tahap ini menghasilkan rasa optimis.
Usia 3-5 tahun, anak belajar mandiri vs ragu-ragu, yang paling berperan adalah Ayah dan Ibu, hasil pendidikan di tahap ini adalah kontrol diri dan motivasi.
Usia 5-7 tahun; belajar insiatif vs rasa bersalah; peran Ayah, Ibu, saudara; hasil: perilaku yang mudah diarahkan.
Usia 7-12 tahun; belajar motivasi kuat vs rendah diri; peran Ayah, Ibu, Guru, teman; hasil: pandai mengelola konflik.
Usia 13-19 tahun; belajar identitas diri vs kabur; peran orang dewasa dan sahabat; hasil: setia, rasa sosial tinggi, stabil, tidak mudah terpengaruh.
Usia 20-30 tahun; belajar keakraban vs isolasi; peran pasangan hidup; hasil: cinta keluarga.
Menarik, bukan?
"Maaf, bukannya saya menganggap peran guru sama sekali tidak ada. Saya juga guru," ujar sang psikolog meneruskan paparannya. "Tapi fungsi orangtua, terutama Ayah, tak tergantikan, bahkan oleh seribu guru sekalipun."
Hmm. Orangtua, terutama Ayah, tak tergantikan seribu guru.
"Orangtua harus mau berkorban, mengasuh dan menjaga sepenuhnya hingga anak umur 12 tahun, hingga SD," imbuhnya dengan bersemangat.
Okay.
"Karena setelah itu peran teman dan guru mulai membesar..."
Menarik.
"Jadi kalau ada anak SMP atau SMA nakal atau berulah, jangan cuman panggil orangtuanya, percuma," ujar sang psikolog mantap. "Panggil siapa?"
Dan kami menjawab serentak, "Temannya..."
"Bener!" Sang psikolog manthuk. "Panggil temannya, sahabatnya, ajak mereka bicara untuk membantu..."
Hmm...
"Kalo mahasiswa saya ada yang bermasalah, malas kuliah misalnya," ujar sang psikolog. "Saya ndak mungkin panggil orangtuanya, siapa saya panggil...?"
Dan kami pun ber-koor, "Pacarnya!"
"Bener!" Sang psikolog menganggukkan kepala dengan mantap.
Saya terus menyimak.
Benar apa yang dipaparkan si pembicara, lingkungan yang berperan dalam pertumbuhan mental seorang anak berubah dari waktu ke waktu, sesuai tahapan usia. Awalnya orangtua, lalu keluarga, lalu guru, teman, dan terakhir pasangan hidup.
"Hampir semua anak selalu ngefans sama papanya." Si pembicara meneruskan paparannya.
"Mereka sangat kecewa saat papanya gagal memenuhi tiga kriteria utama seorang ayah. Apa saja itu?," tanya nya dengan nada memancing.
Apa, ya? Saya ndak tahu. Naga-naganya topik ini sudah dibahas sebelum saya datang..
Seorang guru mengacungkan jari.
"Ya, apa saja, Pak?" Si pembicara menuding si bapak guru yang kini berdiri.
"Mencari nafkah," jawab si bapak guru.
"Bener, mencari nafkah."
"Mendidik karakter..."
"Ya, bener, dan yang ke-tiga?"
"Umm..." Si bapak guru tidak segera menjawab.
Lho, kok ragu?
"Mencintai istrinya..."
Oalah.
Saya tersenyum. Mencari nafkah, mendidik karakter anak, mencintai istri; tiga kriteria utama seorang ayah, seorang suami. Adakah yang belum kita penuhi?
Saya banyak belajar hari ini.
"Dan yang terpenting dilakukan bukan 'quality time', tapi 'quantity'. Bukan kualitas tapi kuantitas..."
Maksudnya?
"Lha ndak mungkin tiap kali punya 'quality time'," imbuh si pembicara. "Mosok kita mau bilang gini sama anak, 'Ayo, cepet-cepet, kamu mau ngomong apa sama mama, curhat apa? Ayo cepet, ini mama sejam lagi ada seminar. Cepet, cepet, kita quality time'..."
HªHŪHÁª, kami ngakak. 'Quality time' tidak bisa dipaksa, disusu-susu, harus terjadi secara spontan, misterius, dan itu butuh waktu.
Kuantitas.
"Sama suami atau istri juga begitu. Mosok mau bilang, 'Ayo, Mah, kita quality time, yuk. Ngomong apa ya, enaknya?'..."
HªHŪHÁª, kalau diskenario atau dipaksakan, malah garing, mati gaya.
Bubar.
"Saat kita bisa ngomong, guyon, cerita hal-hal yang lucu, ndak mutu, ndak berkualitas, terus kita bisa tertawa bareng, ngakak bareng, itulah quality time, itulah kualitas," tandas sang psikolog.
Bener.
Saat omongan kita, diri kita tampil rak mutu, 'quality time' tercipta. Karena saat 'rak mutu' itulah kita tampil sebagai pribadi yang seutuhnya, tulus, ikhlas, apa adanya, tanpa tedeng aling-aling.
Itulah kualitas terbaik kita sebagai manusia.
Saya tersenyum. Saya jadi kangen mendengar Istri yang hampir tiap bangun pagi selalu bercerita tentang mimpinya yang rak mutu.
Agustus 2019
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment